Oleh: Yohanes De Britto Wirajati dari Institut Seni Indonesia Surakarta

 

“Pandemi yang terjadi saat ini juga sama. Ia adalah sebuah portal, sebuah pintu gerbang di antara satu dunia dengan dunia berikutnya.”

-Arundhati Roy, Pandemi Adalah Sebuah Pintu Gerbang-

 

Kutipan di atas saya pinjam dari salah satu bagian dalam sebuah buku kumpulan tulisan bertajuk Wabah, Sains dan Politik (2020) yang ditulis oleh Arundhati Roy. Dalam tulisannya ini, Roy (2020, 43-58) menjabarkan pengamatannya terhadap situasi pandemi di negaranya, India. Ketika pandemi merebak di Wuhan, Tiongkok, India tengah sibuk menghadapi beberapa peristiwa. Ada gelombang demonstrasi penolakan undang-undang Anti-Muslim sampai dengan kunjungan Presiden Brasil, Jair Bolsonaro. Bahkan, kemunculan pertama kali kasus COVID-19 di negara itu saat persiapan berbagai hajatan sedang berlangsung, seperti rencana kunjungan Donald Trump dan pemilihan Majelis Legislatif. Tanggal 19 Maret 2020, Perdana Menteri India, Narendra Modi kemudian menyampaikan perlunya “penjarakan sosial” yang disusul pemberlakuan jam malam pada 22 Maret 2020. Tepat 24 Maret 2022, India resmi menyatakan karantina pandemi.

Pada paparan selanjutnya, hal yang menjadi penting dari tulisan Roy (2020) ini adalah fokusnya pada penjabaran kondisi krisis yang melanda India akibat berbagai kebijakan pemerintahannya. Roy (2020:50-55) mencatat terjadinya krisis ekonomi akibat tingginya warga negara yang kehilangan pekerjaan, meluas sampai pada krisis politik karena tingginya rasa keputusasaan warga negara atas langkah-langkah pemerintahan menanggulangi pandemi yang dinilai gagal. Tulisan ini kemudian ditutup dengan tawaran Roy (2020) untuk berpaling dari segala ide lawas dan kemudian menyiapkan sebuah dunia baru.

Masih pada buku yang sama, terdapat satu terjemahan tulisan dari Yuval Noah Harari yang berjudul Dunia Setelah Virus Korona (2020: 93-106). Noah Harari (2020), di bulan Maret 2020, menyusun sebuah proyeksi tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi setelah masa pandemi nantinya berakhir. Secara garis besar, dalam tulisan proyektifnya ini, Noah Harari (2020) menyatakan bahwa hadirnya jaringan global yang luas dan kuat adalah kemungkinan yang akan hadir pascapandemi. Kehadiran jaringan global ini dimungkinkan oleh karena dorongan negara-negara untuk menyelesaikan segala bentuk krisis yang muncul semasa pandemi dan sekaligus respon atas kegagalan negara-negara mengatasi permasalahan-permasalahan yang muncul secara mandiri.

Pandangan menarik juga disampaikan oleh Slavoj Zizek (2020: 85-92) dalam tulisannya yang berjudul Komunisme Global atau Hukum Rimba, Virus Korona Memaksa Kita untuk Memilih. Zizek (2020) memaparkan argumentasinya untuk mengajak siapa saja yang membaca tulisannya ini memilih kemungkinan-kemungkinan kondisi yang akan terjadi setelah pandemi, antara penggunaan “logika brutal” untuk bertahan hidup berdasarkan kepanikan atau mengambil waktu untuk berpikir ulang apakah pola-pola komunal bisa diterapkan lagi untuk membangun dunia yang tengah terjangkit virus.

Argumentasi pada ketiga kutipan tulisan ini dilakukan untuk menunjukkan gagasan melampaui kondisi mental di awal masa pandemi yang, alih-alih bertindak secara panik atau meratapi nasib, justru membayangkan dan memetakan celah-celah pembangunan dunia baru pascapandemi. Gagasan-gagasan yang sedemikian rupa memperbolehkan kita untuk merefleksikan kembali masa pandemi yang sudah dijalani, bagaimana kondisinya hari ini dan kemana langkah kita kemudian bisa kita arahkan.

Apa yang Terjadi Semasa Pandemi?

Diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) yang berlaku sejak 31 Maret 2020 menjadi tanda dimulainya masa pandemi dan pemberlakuan social distancing serta protokol kesehatan pada segala bentuk aktivitas pemerintahan dan warga negara di Indonesia. Semenjak itu, perubahan besar-besaran terjadi dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari.

Pada wilayah pendidikan, sistem pembelajaran daring kemudian diterapkan atas dasar Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2020. Aktivitas pembelajaran dipindahkan seluruhnya dari kelas-kelas dalam gedung sekolah pada layar gadget atau laptop di dalam rumah. Kondisi ini jelas memaksa stakeholder di wilayah penyelenggaraan pendidikan untuk secara cepat mengejar berbagai kesiapan sarana prasarana seperti ketersediaan piranti, stabilitas dan akses jaringan internet serta kemampuan literasi digital para pengajar (Saleh, 2020).

Mengutip dari Ananda et al (2021), berdasarkan data Kemendikbud (2020), jumlah murid yang harus mengalami pembelajaran daring karena pandemi luar biasa besar angkanya.

“Berdasarkan data dari Kemendikbud Tahun 2020 bahwa banyaknya siswa yang terdampak covid 19 sehingga mengharuskan mereka belajar di rumah yaitu sebanyak, Sekolah Dasar dan Sederajat sebanyak: 28,6 Juta, Sekolah Menengah Pertama dan Sederajat sebanyak: 13,1 Juta, Sekolah Menengah Atas dan Sederajat sebanyak: 11,3 Juta, dan Pendidikan Tinggi sebanyak: 6,3 Juta.” (Ananda et al, 2021: 1690).

Dari data tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat hampir 60 juta murid yang melakukan migrasi digital dalam aktivitas pembelajarannya. Sebuah angka yang luar biasa masif.

Dampak dari berpindahnya semua kegiatan pendidikan ke dalam ruang virtual, pertama-tama, dirasakan pengaruhnya oleh orang tua murid. Transformasi pembelajaran ini menambahkan beban pembiayaan yang harus dikeluarkan untuk mengikuti proses pembelajaran. Orang tua murid harus merogoh kocek untuk menutupi biaya pembelian kuota internet sampai dengan gawai pintar atau laptop untuk dipergunakan sang anak dalam pembelajaran (Saleh, 2020). Hal serupa juga berlaku pada mahasiswa yang berkuliah di perguruan tinggi.

Selain itu, orang tua murid juga perlu meluangkan waktu tambahan untuk mendampingi anak-anaknya belajar. Masalahnya, keberadaan orang tua murid di rumah semasa pandemi sesungguhnya berkaitan dengan penerapan work from home (WFH) dalam dunia kerja. Sehingga, walaupun para orang tua murid lebih sering berada di rumah, sesungguhnya mereka tidak memiliki waktu luang untuk mendampingi anak-anak mereka belajar karena harus mengerjakan pekerjaan dari rumah (Saleh, 2020).

Apa yang terjadi pada wilayah pendidikan selama pandemi ini ternyata berkaitan dengan pengaruhnya di wilayah ekonomi. Tambahan biaya yang harus dikeluarkan orang tua murid untuk biaya pendidikan jadi terasa lebih membebani karena di sektor perekonomian sehari-hari, bergulir kondisi krisis akibat pandemi. Nurul Aeni dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Pati, Jawa Tengah menuliskan dalam artikel ilmiahnya sebagai berikut:

“Parameter dalam mengukur dampak pandemi COVID-19 pada aspek ekonomi adalah tingkat pertumbuhan ekonomi dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). Kondisi ini dialami oleh semua wilayah yang terdampak pandemi COVID-19 dengan tingkat keparahan yang berbeda. Penurunan pertumbuhan ekonomi utamanya disebabkan oleh pembatasan aktivitas, utamanya pada periode Maret hingga September 2020 yang berdampak pada penurunan aktivitas ekonomi masyarakat.” (Aeni, 2021: 25).

Pembatasan sosial (social distancing) yang diterapkan selama pandemi memicu tren negatif pada pertumbuhan ekonomi. Pada penelitiannya di daerah Kabupaten Pati, Aeni (2021: 25) mencatat terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar -1,15% pada tahun 2020 jika dibandingkan dengan pertumbuhan  ekonomi di tahun 2019, sebesar 5,86 %. Persentase yang lebih besar bisa jadi dialami oleh daerah lain mengingat bahwa keparahan dampak pandemi di sektor ekonomi tingkatnya berbeda-beda di tiap daerah.

Menurunnya pertumbuhan ekonomi selama pandemi di Indonesia membawa efek samping. Merujuk kepada artikel ilmiah yang ditulis oleh Yudistia Teguh Ali Fikri dan Ida Abdul Gopar (2021), dipaparkan kondisi pertambahan angka pengangguran selama pandemi sebagai berikut:

Dalam laporan tertulis dari Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) Forecast untuk tahun 2020, tingkat pengangguran pada tahun 2020 lebih tinggi dari krisis tahun 2008. Penyebabnya adalah ledakan COVID-19 yang melanda dunia.  OECD mencatat  tingkat  pengangguran  pada  Februari  2020  sebesar 5,2%, kemudian pada Mei 2020 terjadi peningkatan menjadi 8,4%. (Fikri & Gopar, 2021: 108).

Berdasarkan data angka pada kutipan di atas, dapat dilihat bahwa semasa pandemi di tahun 2020 pertumbuhan angka pengangguran hampir mencapai dua digit. Kondisi ini tentunya sangat menggambarkan krisis perekonomian, baik dalam skala mikro dan makro, yang membekap masyarakat di masa pandemi. Munculnya data angka yang sedemikian rupa kiranya senafas dengan kenyataan bahwa terdapat banyak perusahaan, seperti perusahaan ritel

Pada ranah yang berbeda, ranah kesenian, pandemi juga menjadi pemicu bergulirnya banyak perubahan perilaku. Dalam praktik seni pertunjukan, kebijakan social distancing mengakibatkan penyelenggaraan konser musik hanya dihadapkan pada dua keniscayaan, ditunda atau dibatalkan (Septiyan, 2020). Kondisi yang sedemikian rupa kemudian mendesak pelaku musik untuk memutar otak, mencari jalan lain untuk mengemas dan menghadirkan sebuah konser ke hadapan publik. Jawabannya adalah konser daring.

Logika pencarian solusi yang relatif sama juga terjadi pada praktik pameran seni rupa. Penyelenggara pameran seni rupa harus mengubah strategi pelaksanaanya mengandalkan jaringan internet dan beragam platformnya untuk menghindari terciptanya kerumunan (Al Hazmi et al, 2021: 80). Pandemi mendesak pelaku seni rupa untuk memindahkan proses publikasi dan apresiasi karya ke dalam ruang virtual, yang tentunya membawa pengalaman baru.

Tidak berhenti di situ, pandemi dan logika daring yang melekat padanya juga memberikan momentum bagi hadirnya pola penciptaan dan jual-beli karya seni rupa yang berbeda, atau yang dikenal dengan nama NFT Art. Berbicara mengenai NFT Art, maka ada tiga hal yang tidak bisa dilepaskan kaitannya, yaitu karya seni digital, non-fungible token (NFT) dan sistem blockchain.

Karya seni rupa yang menjadi komoditi dalam NFT Art didominasi oleh karya seni digital. Kondisi ini secara otomatis mengubah pola penciptaan karya seni rupa yang berbasis analog/manual kepada pola penciptaan digital, memanfaatkan berbagai platform atau aplikasi. Transaksi jual-beli karya seni digital yang menyusul kemudian lantas memanfaat NFT sebagai alat tukarnya. Dikutip dari theconversation.com, NFT adalah sebuah token kepemilikan digital yang memiliki sifat unik sehingga ideal dijadikan alat tukar dalam transaksi jual-beli karya seni. Masih mengutip laman web yang sama, teknologi blockchain, sistem pencatatan data dalam mata uang krypto kemudian menjadi basis dari penggunaan NFT tersebut.

Kemunculan beragam fenomena perubahan sebagai dampak dari pandemi di wilayah kesenian ini kemudian menjadi bahan kajian bagi publikasi ilmiah. Perpindahan penyelenggaraan konser musik ke dalam sebuah panggung virtual dianggap memberikan kerugian besar bagi para pelakunya (Septiyan, 2020). Walaupun penggunaan piranti digital berbasis internet dapat tetap memfasilitasi penyelenggaraan konser musik di tengah pandemi, namun beberapa bentuk organisasi kerja seni pertunjukan seperti crew panggung dan penata suara praktis mengalami kondisi surutnya tawaran pekerjaan (Septiyan, 2020: 33).

Selain itu, tren penyelenggaraan konser daring selama pandemi juga punya dampak signifikan terhadap audiens. Merosotnya pengalaman afeksi akibat perantaraan layar monitor dalam konser daring menjadi dampak yang paling dirasakan oleh audiens. Kondisi ini mempengaruhi tingkat kepuasan audiens yang berakumulasi juga dengan perasaan kecewa atas kualitas audio yang kadang terdistorsi oleh fluktuasi jaringan internet dan keterbatasan piranti (Septiyan, 2020: 35).

Pada ranah seni rupa, Al Hazmi et al (2021) mempublikasikan sebuah artikel ilmiah yang menunjukkan bahwa, dari sudut pandang resepsi partisipan, penyelenggaraan pameran virtual berdampak pada penurunan kualitas karya seni akibat beragam penyesuaian dengan platform atau aplikasi (Al Hazmi et al, 2021: 85). Penurunan kualitas karya yang dipamerkan ini terkait dengan kemampuan menata display karya yang masih terbatas dan perlu banyak pengembangan lagi.

Selain berdampak pada ketiga wilayah yang telah disinggung, pandemi juga mendorong munculnya fenomena baru dalam lingkungan sosial. Fenomena panic buying bisa jadi salah satu contohnya. Munculnya kepanikan secara komunal pada masyarakat di masa pandemi memicu terjadinya pembelian beberapa barang-barang secara gila-gilaan yang mengakibatkan kelangkaan barang tersebut di pasaran. Bukti nyatanya dapat dilihat pada pembelian masker dan hand sanitizer secara besar-besaran karena dianggap sebagai penangkal virus yang paling ampuh. Alhasil keberadaan masker dan hand sanitizer di pasaran menjadi sangat langka dan harganya melambung tinggi.

Fenomena sosial lain yang merebak selama pandemi dapat ditemukan pada artikel ilmiah Theresia Vania Raditya et al (2020) yang berjudul Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dalam artikel ilmiahnya ini, Raditya et al (2020) menuliskan sebagai berikut:

“Adanya masa karantina membuat angka kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan serta anak meningkat secara global. Hal ini terjadi karena banyaknya perempuan yang terpaksa melakukan isolasi atau “terisolasi” di rumah dengan pelaku tindak kekerasan. Dian Kartikasari, Ketua Dewan Pengurus INFID dan Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) 2009-2020 menyatakan masa isolasi mandiri berpengaruh dalam menciptakan adanya konflik di dalam rumah tangga. Kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan saat ini beragam mulai dari kekerasan fisik, psikis, dan seksual.” (Raditya et al, 2020: 116).

Kutipan ini menambah temuan dampak pandemi dalam aspek kehidupan sehari-hari. Seluruh kutipan dan temuan yang telah dipaparkan bisa jadi hanya Sebagian kecil dari ragam fenomena yang ada. Namun, dari pembahasan ini dapat dilihat adanya migrasi digital besar-besaran yang terjadi di semua aspek. Selain itu, kondisi mental depresif dan panik juga membekap masyarakat selam pandemi. Segala bentuk perilaku individu dan kelompok selama pandemi kerap mewarisi kedua sifat tersebut, depresif dan panik, seperti dalam panic buying dan meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga.

Bagaimana Kondisinya Hari Ini?

Setelah pandemi bergulir hampir 3 tahun, lantas bagaimana kondisi masyarakat hari ini? Berdasarkan Pernyataan Pers Presiden RI terkait Pelonggaran Penggunaan Masker yang disampaikan di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat tanggal 17 Mei 2022, terhitung mulai tanggal tersebut masyarakat diperbolehkan tidak menggunakan masker ketika beraktivitas di ruang terbuka yang tidak padat orang. Terbitnya pernyataan pers ini menjadi tanda bahwa kondisi pandemi dipandang sudah berangsur kondusif oleh pemerintah.

Dalam dunia pendidikan, khususnya tingkat pendidikan tinggi, perkuliahan secara tatap muka telah marak diberlakukan. Pada institusi tempat penulis mengajar, Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, perkuliahan tatap muka diberlakukan sejak masa perkuliahan semester ganjil 2022/2023 bergulir berdasarkan instruksi Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Surakarta dalam surat edaran bernomor 4119/IT6.4/PK.01.04/2022. Penggunaan platform virtual meeting seperti Zoom masih dilakukan, namun hanya pada kelas perkuliahan pengganti yang tidak bisa dilakukan secara tatap muka karena keterbatasan ruangan atau waktu.

Dalam pemberlakuan sistem perkuliahan tatap muka yang mulai marak diterapkan di berbagai perguruan tinggi ini, muncul berbagai macam respon. Prof. Dr. Ahmad M Ramli, Guru Besar Cyber Law dan Regulasi Digital Universitas Padjadjaran menuliskan dalam salah satu artikelnya di kolom Kompas.com (18/11/2022) bahwa perguruan tinggi di masa pascapandemi saat ini dihadapkan pada suatu pilihan krusial. Pilihannya adalah bertransformasi atau terdisrupsi. Pilihan ini muncul sebagai implikasi dari migrasi digital yang dilakukan banyak perguruan tinggi di masa pandemi. Dalam artikelnya ini, Prof. Dr. Ahmad M Ramli kemudian menawarkan pilihan bertransformasi pada perguruan tinggi dengan mengadopsi formula hybrid university, mengkombinasikan tatap muka dengan kuliah daring.

Pada sektor ekonomi, kecenderungan melakukan konsumsi berbagai kebutuhan menggunakan platform digital masih dominan. Mengutip pemberitaan di e-paper Harian Ekonomi Neraca (30/12/2022), Kementerian Perdagangan RI sedang menggodok penyempurnaan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagai respon atas tren perdagangan daring yang masih positif sampai hari ini.

Sektor perbankan juga aktif bertransformasi untuk merespon tren ini. Dilansir dari Detik.com (23/12/2022), data angka penurunan jumlah kantor dan peningkatan jumlah anjungan tunai mandiri Bank Syariah Indonesia periode 2019-2022 menunjukkan proses transformasi, dari layanan tatap muka menuju layanan berbasis e-channel. Pada artikel lain, portal berita Kontan.co.id (22/12/2022) memberitakan bahwa, berkaitan dengan upaya meningkatkan nasabah baru, Bank BCA dan Bank Mandiri gencar mengoptimalkan layanan mobile banking-nya untuk proses pembukaan rekening baru. Transformasi pelayanan menggunakan platform digital marak dilakukan pelaku perbankan pada era pascapandemi ini.

Kondisinya berbeda dengan yang terjadi pada ranah kesenian. Model konser daring dan pameran virtual tidak lagi jadi pilihan di era pascapandemi. Dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan, banyak konser dan pameran digelar secara luring. Agaknya, kondisi pascapandemi justru menjadi momen perayaan bagi art enthusiast, apresiator seni, untuk mengembalikan pengalaman mereka menikmati peristiwa dan karya seni secara langsung, tanpa perantaraan platform digital. Antusiasme yang luar biasa tinggi ini bahkan sampai harus membuat izin penyelenggaraan konser musik Berdendang Bergoyang di Jakarta pada 28-30 Oktober 2022 lalu dicabut polisi karena overload dan melebihi kapasitas venue.

Terkait dengan NFT Art, berdasarkan perbincangan penulis dengan salah satu kurator dan dosen seni rupa, Sujud Dartanto, di masa pascapandemi ini geliat NFT Art justru lesu. Namun, agaknya kondisi ini bukan efek samping dari periode pascapandemi, akan tetapi lebih kepada fluktuasi sistem blockchain yang menjadi pondasinya. Publik dan pengamat NFT Art terlalu berfokus pada simulasi transaksi ekonominya semata. Pada sisi lain, sesungguhnya seni digital seperti dalam NFT Art masih menjadi praktik penciptaan karya seni yang memberikan kesempatan eksplorasi besar-besaran sampai hari ini.

Berdasarkan pemeriksaan terhadap berbagai aspek pascapandemi hari ini, maka dapat dilihat bahwa penggunaan internet masih terus menunjukkan peningkatan, walaupun tidak berlaku menyeluruh (seperti di ranah kesenian). Masa pandemi kemarin makin membuka celah penetrasi yang luar biasa besar dan mulus bagi masuknya produk-produk digital dalam keseharian masyarakat. Disadari atau tidak, disengaja atau tidak bahkan dipahami atau tidak, masyarakat pascapandemi hari ini sedang bergerak, menjadi bagian dari transformasi digital.

Tawaran Menggerakkan Kebangkitan: Sebuah Konklusi

Mengacu pada pembahasan mengenai apa yang terjadi selama pandemi dan bagaimana kondisinya hari ini, maka transformasi digital menjadi kata kuncinya. Perkaranya, bagaimana dan seperti apa transformasi digital ini harus dilakukan? Ada beberapa tawaran yang ingin diajukan terkait dengan upaya menjawab pertanyaan ini.

Pertama, transformasi digital yang dominan di era pascapandemi sesungguhnya mengingatkan pemerintahan dan publik di Indonesia akan pekerjaan rumah yang masih belum tuntas, yaitu literasi digital. Publik kiranya perlu tahu sejauh mana upaya literasi digital, baik yang dilakukan pemerintahan dan pihak lainnya, untuk mengukur pencapaiannya. Dalam upaya transformasi ini, tingkat literasi digital sangat menentukan posisi Indonesia dalam konstelasi budaya digital secara luas. Apakah kita hanya akan menjadi penonton atau secara aktif memegang kendali transformasi.

Kedua, meningkatnya penggunaan internet dan media sosial di era pascapandemi membutuhkan perhatian khusus dari seluruh stakeholder. Salah satu implikasi terbukanya arus informasi di era digital adalah matinya kepakaran. Siapapun bisa bicara apapun dan berpotensi untuk dipercaya menjadi kebenaran karena amplifikasi media sosial. Kondisi yang kerap disebut post-truth ini adalah ancaman tersendiri bagi kohesi sosial masyarakat. Oleh sebab itu, moderasi dan kurasi konten dalam media sosial dan portal digital lainnya jadi sangat signifikan kehadiran dan perannya untuk menghalau segala ancaman yang muncul dari peningkatan penggunaan internet dan media sosial.

Ketiga, transformasi digital di era pascapandemi ini tetap harus memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan pola hybrid. Seperti yang sudah banyak dipahami di dunia pendidikan, unsur afeksi tetap dibutuhkan dalam interaksi antar manusia. Pertemuan tatap muka tentunya tetap memberikan pengalaman berbeda yang tidak bisa digantikan oleh platform digital. Hal ini perlu diingat dan dipertimbangkan agar pola interaksi dalam masyarakat tidak terjebak dalam pola mekanis yang tersistem secara total, tapi tetap mengandung unsur afeksi yang memungkinkan tetap terpeliharanya rasa empati.

Demikian kiranya tawaran opini dan gagasan yang bisa diberikan sebagai catatan sosial budaya atas proyeksi-proyeksi di masa pascapandemi. Lebih dari itu, sesungguhnya ada suatu hal yang tidak sepantasnya hilang pada pascapademi hari ini, yaitu solidaritas sesama manusia. Pandemi telah mengajarkan kita bahwa solidaritas bisa jadi penguat ditengah terpaan bencana. Konsep solidaritas ini pula yang muncul pada logika budaya digital dalam bentuk kolaborasi. Menutup tulisan ini, maka penulis mengutip salah satu penggalan lirik band Slank yang berjudul Solidaritas seperti di bawah ini:

“Mengapa harus tunggu bencana, Baru kita percaya kebesaran Tuhan? Mengapa harus tunggu bencana, Kita rela sisihkan harta untuk sesama? Mengapa nggak setiap hari, Berbuat seperti ini?”

 

Referensi

Aeni, Nurul. (2021). “Pandemi COVID-19: Dampak Kesehatan, Ekonomi, dan Sosial” dalam Jurnal Jurnal Litbang Vol. 17 No. 1 Bulan Juni 2021.

Al Hazmi, Fariz et al. (2021). “Persepsi Partisipan Terhadap Kualitas Pameran Seni Rupa Secara Virtual dalam Situasi Pandemi Covid-19” dalam Jurnal Tata Kelola Seni, Vol. 7 No. 2, Desember 2021.

Ananda, Rizki et al. (2021). “Dampak Pandemi Covid-19 terhadap Pembelajaran Tematik di Sekolah Dasar” dalam Jurnal Basicedu, Vol. 5 No. 3, Tahun 2021.

Dzulfikar, Luthfi T. (31 Januari 2022). “Blockchain, NFT, dan Metaverse: euforia berlebihan atau budaya digital baru?”. https://theconversation.com/blockchain-nft-dan-metaverse-euforia-berlebihan-atau-budaya-digital-baru-175933#:~:text=NFT%20adalah%20token%20kepemilikan%20digital,untuk%20memperjualbelikan%20karya%20seni%20digital. Diakses 30 Desember 2022.

Fikri, Yudistia Teguh Ali dan Ida Abdul Gopar. (2021). “Analisis Peningkatan Angka Pengangguran akibat Dampak Pandemi Covid 19 di Indonesia” dalam Jurnal Indonesian Journal of Business Analytics (IJBA), Vol.1, No.2, 2021: 107-116.

Harari, Yuval Noah. (2020). “Dunia Setelah Virus Korona” dalam Wabah, Sains dan Politik. Yogyakarta: Antinomi. Hal. 93-106.

Kurnia, Ati. (23/12/2022). “Transformasi Digital BSI Permudah Urusan Finansial dan Spiritual”. https://news.detik.com/kolom/d-6476883/transformasi-digital-bsi-permudah-urusan-finansial-sekaligus-spiritual. Diakses 30 Desember 2022.

N.N. (22 Desember 2022). “Tingkatkan Dana Murah, Begini Strategi Perbankan”. https://www.msn.com/id-id/berita/other/tingkatkan-dana-murah-begini-strategi-perbankan/ar-AA15yRw3. Diakses 30 Desember 2022.

Owo. (30 Desember 2022). “Perdagangan Daring Makin Dioptimalkan”. https://www.neraca.co.id/article/173762/perdagangan-daring-makin-dioptimalkan. Diakses 30 Desember 2022.

Raditya, Theresia Vania et al. (2020). “DAMPAK PANDEMI COVID-19 TERHADAP KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA” dalam Jurnal Kolaborasi Resolusi Konflik Universitas Padjadjaran, Vol. 2, No. 2, 2020, Hal. 111-119.

Ramli, Prof. Dr. Ahmad M. (18 November 2022). “Dampak Pandemi: Perguruan Tinggi Bertransformasi atau Terdisrupsi”. https://www.kompas.com/edu/read/2022/11/18/144853071/dampak-pandemi-perguruan-tinggi-bertransformasi-atau-terdisrupsi?page=all. Diakses 30 Desember 2022.

Roy, Arundhati. (2020). “Pandemi Adalah Sebuah Pintu Gerbang” dalam Wabah, Sains dan Politik. Yogyakarta: Antinomi. Hal 43-57.

Saleh, A. M. (22 Agustus 2020). “Problematika Kebijakan Pendidikan Di Tengah Pandemi Dan Dampaknya Terhadap Proses Pembelajaran Di Indonesia”. https://doi.org/10.31219/osf.io/pg8ef. Diakses 29 Desember 2022.

Septiyan, Dadang Dwi. (2020). “Perubahan Budaya Musik di Tengah Pandemi COVID-19” dalam Jurnal Musikolastika, Vol. 2 No. 1 Th. 2020.

Zizek, Slavoj. (2020). “Komunisme Global atau Hukum Rimba, Virus Korona Memaksa Kita untuk Memilih” dalam Wabah, Sains dan Politik. Yogyakarta: Antinomi. Hal 85-92.

 


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.