CARBON TRADING SEBAGAI KATALISATOR PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN BERBASIS KEMASLAHATAN LINGKUNGAN DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI

 

Naufal Akram

Universitas Indonesia

 

Hiruk pikuk interaksi yang resiprokal antara manusia dengan lingkungan pada realitanya tak akan selalu manis dan berbuah mutualistik. Industrialisasi, ekstensifikasi, bahkan eksploitasi terhadap lingkungan yang membabi buta menciptakan sebuah nestapa yang nyata adanya. Isu perubahan iklim tentu saja dapat merenggut cita dan aspirasi Indonesia Emas 2045 kelak.

Pola kehidupan masyarakat modern yang ekstraktif dan cenderung konsumtif memperkeruh permasalahan lingkungan. Pola hidup ekstraktif yang eksploitatif telah berdampak pada penggunaan 14,7 juta hektar lahan yang digunakan sebagai perkebunan sawit. Tak hanya itu, terjadinya excess demand yang menyesuaikan pola hidup masyarakat pada status quo (seperti kebutuhan listrik, industri, transportasi, ekspansi urban, dan agrikultur) menciptakan distorsi terhadap kesinambungan lingkungan Indonesia (NN, 2023).

Paradigma masyarakat yang semakin jauh dari motivasi intrinsik dalam menjaga kelestarian lingkungan menciptakan sebuah domino effect terhadap kemaslahatan lingkungan itu sendiri.

Kekeruhan permasalahan iklim dibuktikan dengan berbagai dampak terhadap peristiwa cuaca ekstrem, ekosistem, dan masyarakat manusia yang tentunya sudah dirasakan masyarakat bumi pertiwi. Menurut laporan Carbon Brief, dari 152 peristiwa panas ekstrem yang dinilai oleh para ilmuwan, 93% menemukan bahwa perubahan iklim menjadikan peristiwa atau tren tersebut lebih mungkin atau lebih parah. (Pidcock & McSweeney, 2022).

Lantas, mengapa karbon menjadi unsur yang begitu vital dalam pembahasan isu perubahan iklim dan krisis lingkungan? Meningkatnya konsentrasi karbon dioksida (CO2) di atmosfer, terutama dari aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil, telah meningkatkan efek rumah kaca alami secara signifikan, yang menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim (Lin & Huang, 2022). CO2 adalah gas rumah kaca terpenting di bumi, yang menyerap dan memancarkan panas, dan peningkatan kadarnya telah menyebabkan sekitar dua pertiga dari total pengaruh pemanasan di planet ini (Ludeña et al, 2015).

The U.S. Environmental Protection Agency (EPA) juga menekankan bahwa CO2 adalah gas rumah kaca utama yang berkontribusi terhadap perubahan iklim saat ini, yang masuk ke atmosfer melalui berbagai aktivitas manusia (Spring et al, 2022). Data Emisi Gas Rumah Kaca Global EPA lebih lanjut menyoroti bahwa emisi CO2 dari pembakaran bahan bakar fosil mewakili proporsi yang signifikan dari total emisi CO2 global (Black et al, 2022). Oleh karena itu, eratnya hubungan antara karbon dan perubahan iklim terletak pada peran mendasar karbon dioksida sebagai pendorong utama pemanasan global dan kontribusinya yang signifikan terhadap krisis iklim yang sedang berlangsung.

Bilur nestapa yang dialami Indonesia pada isu lingkungan yang tidak dapat dibendung ini mengharuskan adanya penyesuaian pada penanganan pengeluaran karbon yang berlebih sebagai bentuk preventif dari probabilitas kerusakan dan permasalahan lingkungan yang bersifat katastropik.

Pada KTT iklim COP28, diskusi seputar perdagangan karbon berfokus pada beberapa aspek utama, termasuk rincian praktis pasar karbon, peran pasar karbon sukarela, dan keterkaitan sistem perdagangan berdasarkan Pasal 6.2 (NN, 2023). Tujuan utama lainnya adalah untuk mempertimbangkan aturan untuk menghubungkan sistem perdagangan berdasarkan Pasal 6.2, yang memungkinkan negara-negara untuk bertukar kredit karbon dan unit lainnya (Muzurakis, 2023).

Melalui data yang dikeluarkan Indonesia—Country Climate and Development Report, 93% suplai energi di bumi pertiwi datang dari bahan bakar fosil, dimana angka yang digdaya tersebut akan menciptakan emisi karbon yang tak kalah besar pula. Indonesia sendiri menitikberatkan suksesi COP28 pada penyelesaian isu karbon sebagai batu loncatan pada realisasi Indonesia emas 2045. Indonesia yang pada status quo menempati 1/3 negara di dunia yang akan paling berdampak pada perubahan iklim memberikan komitmen dengan mengurangi emisi karbon sebesar 31,9% tanpa syarat dengan mitigasi sektoral di ruang lingkup hutan & lahan serta energi (NN, 2023).

Oleh karena itu, perdagangan karbon—Carbon Trading merupakan variabel yang begitu menggiurkan dalam menyongsong Indonesia emas 2045 berbasis Sustainable Development Goals, mengingat intervensi kebijakan yang preventif melalui pemberdayaan karbon tidak hanya dapat membendung mimpi buruk keruntuhan negeri akibat perubahan iklim, namun juga dapat memberikan Pengendalian sosial yang afektif dan asertif terhadap kemaslahatan masyarakat negeri. Ditambah, relasi hubungan bilateral akan terus terjalin dan tentunya akan semakin progresif jika melihat probabilitas dari potensi simpanan karbon negeri yang menjulang tinggi.

Pemuda sebagai pemegang estafet kesinambungan negeri tentunya menjadi pondasi fundamental pada indikator keberhasilan Carbon Trading di Indonesia. Bagaimana masifnya bargaining power dari pemuda dapat berdampak signifikan terhadap keberhasilan carbon Trading di Indonesia demi menyukseskan Indonesia Emas 2045 kelak. Realisasi ini tentunya akan berkesinambungan dengan implikasi Sustainable Development Goals pada implikasi Carbon Trading.

Pemuda memiliki kekuatan untuk menjadi agen perubahan dalam meningkatkan kesadaran akan pentingnya keberlanjutan, termasuk dalam konteks Carbon Trading. Mereka dapat memperjuangkan informasi dan pendidikan tentang manfaat Carbon Trading bagi lingkungan dan ekonomi kepada masyarakat luas. Pemuda seringkali lebih terbuka terhadap ide-ide baru dan inovasi. Hal ini dapat menjadi sumber inspirasi untuk mengembangkan solusi inovatif dalam mengurangi emisi karbon, mendorong adopsi teknologi hijau, dan menemukan cara-cara baru untuk memperluas pasar Carbon Trading. Pemuda yang terlibat secara aktif dalam kebijakan publik dan memiliki representasi yang kuat dalam pengambilan keputusan dapat mempengaruhi agenda keberlanjutan, yang tentunya dapat membangun Indonesia emas 2045 berbasis kelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.

Korelativitas antara perdagangan karbon dan poin 12 dan 13 dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) sangatlah signifikan. Poin 12 berfokus pada memastikan pola konsumsi dan produksi berkelanjutan, sedangkan poin 13 membahas tindakan untuk memerangi perubahan iklim dan dampaknya. Perdagangan karbon memainkan peran penting dalam menyelaraskan SDGs dengan mendorong praktik berkelanjutan dan mitigasi perubahan iklim. Perdagangan karbon berkontribusi pada poin 12 SDGs dengan memberikan insentif kepada perusahaan untuk mengurangi jejak karbon mereka dan mengadopsi proses produksi yang lebih berkelanjutan. Hal ini dicapai melalui pembelian kredit karbon, yang merupakan pengurangan atau penghapusan emisi. Dengan berpartisipasi dalam perdagangan karbon, perusahaan didorong untuk berinvestasi pada teknologi dan sumber energi yang lebih bersih, yang pada akhirnya mendorong pola konsumsi dan produksi berkelanjutan (Kim & Huh, 2020). Perdagangan karbon secara langsung mendukung poin 13 SDGs dengan menyediakan mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Dengan memberi harga pada karbon, sistem perdagangan menciptakan insentif ekonomi bagi para penghasil emisi untuk mengurangi emisi mereka, sehingga berkontribusi pada upaya global untuk memerangi perubahan iklim. Hal ini sejalan dengan seruan SDG untuk mengambil tindakan segera guna mengatasi perubahan iklim dan dampaknya (Sosa-Nunez, 2021).

Mekanisme perdagangan karbon dapat berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi melalui berbagai cara. Salah satunya adalah melalui implementasi sistem perdagangan emisi karbon, di mana perusahaan-perusahaan diberi kuota emisi dan dapat memperdagangkan kelebihan kuota tersebut. Hal ini mendorong perusahaan untuk mengurangi emisi karbon, yang pada gilirannya dapat mendorong inovasi teknologi dan efisiensi, serta menciptakan pasar bagi teknologi ramah lingkungan. Selain itu, pendekatan ini juga dapat menciptakan lapangan kerja baru dalam industri hijau dan berkelanjutan. Dengan demikian, mekanisme perdagangan karbon dapat memberikan dorongan ekonomi sambil mengurangi jejak karbon.

Tentunya, mekanisme perdagangan karbon dapat menjadi instrumen yang kuat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Inisiatif seperti sistem perdagangan emisi karbon memiliki dampak positif yang luas.

Perdagangan Karbon pada implikasi nya akan menjadi salah satu kontributor devisa negara yang tentunya akan menguatkan daya saing Indonesia di kancah internasional—mengingat potensi nya yang begitu besar untuk diterapkan di Indonesia. Sehingga, sirkulasi ekonomi di Indonesia akan menghirup udara segar dengan diberlakukannya perdagangan karbon ini.

Perdagangan karbon dapat menjadi sumber pendapatan devisa negara melalui penjualan kredit karbon yang dihasilkan dari proyek-proyek pengurangan emisi. Ini adalah aset yang dapat diperdagangkan di pasar global karbon, yang dapat menghasilkan pendapatan tambahan bagi negara. Melalui adopsi mekanisme perdagangan karbon, Indonesia dapat menunjukkan komitmen pada upaya mitigasi perubahan iklim. Hal ini tidak hanya akan meningkatkan reputasi negara di arena internasional tetapi juga dapat meningkatkan daya tarik investasi dengan memperlihatkan keterlibatan dalam prinsip-prinsip lingkungan yang berkelanjutan.

Penekanan pada pengurangan emisi karbon dapat mendorong inovasi teknologi yang lebih ramah lingkungan. Ini bisa menghasilkan kesempatan bisnis baru dalam sektor-sektor seperti energi terbarukan, efisiensi energi, atau teknologi hijau lainnya, yang pada gilirannya akan memperkuat ekonomi secara keseluruhan. Implementasi perdagangan karbon juga dapat mendorong proyek-proyek pembangunan berkelanjutan, seperti proyek-proyek penanaman hutan, pengelolaan limbah, atau pengembangan infrastruktur hijau. Hal ini akan menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di sektor-sektor terkait.

Dengan adanya perdagangan karbon, Indonesia memiliki kesempatan besar untuk tidak hanya berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim global tetapi juga memperkuat perekonomiannya secara keseluruhan. Dengan menerapkan kebijakan yang tepat dan memanfaatkan potensi sumber daya alam dan manusia yang dimiliki, perdagangan karbon dapat menjadi salah satu aset penting dalam memperkuat posisi ekonomi Indonesia di pasar global.

Pasar untuk Teknologi Hijau merupakan payung besar dari eksplikasi Carbon Trading. Sistem perdagangan karbon menciptakan pasar yang mendorong permintaan akan teknologi ramah lingkungan. Hal ini bisa membuka peluang bagi perusahaan yang fokus pada solusi- solusi inovatif yang lebih bersih dan lebih efisien secara energi.

Pemberdayaan Carbon Trading tak luput dari penciptaan Lapangan Kerja Baru. Industri hijau dan berkelanjutan dapat menjadi sumber lapangan kerja baru. Permintaan akan tenaga kerja yang terampil dalam teknologi ramah lingkungan, perencanaan dan implementasi proyek- proyek energi terbarukan, serta manajemen limbah dapat meningkatkan kesempatan bagi pekerja di sektor-sektor ini.

Terlebih, perusahaan yang beralih ke teknologi ramah lingkungan dapat mengarah pada investasi jangka panjang dalam sektor-sektor yang berkelanjutan. Hal ini dapat memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang lebih stabil.

Namun, penting untuk mempertimbangkan juga tantangan yang terkait. Misalnya, perlunya pengawasan yang ketat agar sistem perdagangan karbon berjalan secara adil dan efisien, serta memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak memberatkan perusahaan kecil atau kurang berkemampuan finansial. Terlebih lagi, kerjasama antarnegara sangat penting untuk memastikan bahwa upaya pengurangan emisi tidak hanya terjadi di satu tempat saja, tetapi secara global.

Bak kata pepatah ‘sekali mendayung dua pulau terlampaui’. Implementasi solusi ini tidak hanya memberantas dampak buruk dari pola hidup masyarakat modern yang merusak bumi, namun juga dapat membangkitkan daya makroprudensial Indonesia dari aspek ekonomi itu sendiri.

Secara konklutif, carbon trading pada realisasinya akan menciptakan kemaslahatan sosial dan penyelesaian isu perubahan lingkungan yang begitu efektif berjalan beriringan kontribusi peningkatan devisa negara. Sehingga implikasi solutif berbasis lingkungan ini dapat menjadi katalisator yang begitu mumpuni dalam menggaungkan Indonesia emas 2045.

DAFTAR PUSTAKA

Black, S., Parry, I., & Zhunussova, K. (2022). More countries are pricing carbon, but emissions are still too cheap. IMF Blog.

Kim, S. K., & Huh, J. H. (2020). Blockchain of carbon trading for UN sustainable development goals. Sustainability, 12(10), 4021.

Lin, B., & Huang, C. (2022). Analysis of emission reduction effects of carbon trading: Market mechanism or government intervention?. Sustainable Production and Consumption, 33, 28-37.

Ludeña, C., De Miguel, C. J., & Schuschny, A. R. (2015). Climate change and carbon markets: implications for developing countries. CEPAL Review.

Muzurakis. M. (2023). Unlocking Climate Ambition: the Significance of Article 6 at COP28.

United Nations Climate Change.

NN. (2023). COP28 UAE. United Nations Climate Change Conference.

NN. (2023). Indonesia. Country Climate and Development Report. World Bank Group.

Pidcock. R., McSweeney. R . (2022). Mapped: How climate change affects extreme weather around the world. CarbonBrief. Accessed December 16th, 2023.

Sosa-Nunez, G. (2021). Relationship Between Emissions Trading System and the 2030 Agenda for Sustainable Development. In Towards an Emissions Trading System in Mexico: Rationale, Design and Connections with the Global Climate Agenda: Outlook on the first ETS in Latin-America and Exploration of the Way Forward (pp. 285-303). Cham: Springer International Publishing.

Spring. J., Abnett. K., Nasralla. S. (2022). COP27: Talks on carbon market rules off to slow start. Reuters. Accessed December