Oleh: Desnanda Luklu Chusnia dari Universitas Gadjah Mada

 

Abad ke-21 ini, permasalahan di dunia menjadi semakin kompleks. Kompleksitas permasalahan di dunia tersebut salah satunya dipicu oleh meningkatnya jumlah penduduk dunia. Perubahan iklim menjadi salah satu permasalahan utama yang sedang dihadapi dunia saat ini. Isu perubahan iklim disorot sebagai permasalahan penting karena memengaruhi berbagai macam aspek dalam kehidupan. Mengacu pada United Nations, perubahan iklim merujuk pada suatu kondisi pergeseran suhu dan pola cuaca bumi dalam jangka panjang. Aktivitas manusia berupa penggunaan bahan bakar fosil disinyalir menjadi pendorong utama terjadinya perubahan iklim. Penggunaan bahan bakar fosil memicu munculnya emisi gas rumah kaca yang dapat menjebak panas matahari yang sampai ke permukaan bumi sehingga suhu bumi semakin meningkat.

Pandemi COVID-19 yang mulai terjadi pada awal tahun 2020 mengakibatkan terganggunya berbagai aspek kehidupan masyarakat dunia. Mulai dari aspek kesehatan, ekonomi, sosial, budaya, hingga pendidikan. International Monetary Fund atau IMF (2020) mengemukakan bahwa pandemi COVID-19 mengakibatkan pertumbuhan ekonomi dunia menurun hingga -3% karena pemberlakuan lockdown di hampir seluruh wilayah dunia. Sementara itu, dari aspek pendidikan mengakibatkan sejumlah 167 juta anak di dunia terdampak ditutupnya sekolah sehingga mereka kehilangan waktu belajar efektif secara tatap muka (UNICEF, 2021). Di samping berbagai dampak negatif yang ditimbulkan oleh pandemi COVID-19, kondisi ini sempat memberikan angin segar bagi permasalahan perubahan iklim. Data IMF (2022) mencatat terjadi penurunan tingkat emisi gas rumah kaca sebesar 4,6% secara global pada tahun 2020. Kondisi tersebut dipicu oleh adanya kebijakan lockdown global yang membatasi mobilitas penduduk sehingga berimplikasi terhadap penurunan kadar gas rumah kaca, terutama CO2, di atmosfer. Fenomena ini membawa suatu harapan untuk penurunan emisi gas rumah kaca yang lebih signifikan sehingga dapat mencegah lebih parahnya perubahan iklim. Namun demikian, hasil studi United Nations Environment Programme (UNEP) menunjukkan bahwa total konsentrasi gas rumah kaca pada tahun 2021 kembali naik.

Gambar 1 Perbandingan Konsentrasi Gas Rumah Kaca Tahun 2019—2021

Sumber: United Nations Environment Programme (2022)

 

Gambar 1 menunjukkan perbandingan konsentrasi gas rumah kaca pada tahun 2019—2021. Data tersebut didapatkan dari hasil studi pada Emissions Gap Report 2022 yang dipublikasikan oleh UNEP. Berdasarkan Gambar 1, terlihat bahwa konsentrasi gas rumah kaca berupa CO2 mengalami penurunan saat terjadinya pandemi (2020). Akan tetapi, tingkat konsentrasi gas rumah kaca non-CO2, seperti CH4, N2O, dan gas-gas fluor, mengalami peningkatan. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca non-CO2 tersebut dipicu oleh aktivitas-aktivitas manusia yang tidak secara signifikan terpengaruh oleh COVID-19, seperti aktivitas rumah tangga dan pertanian. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa pandemi COVID-19 hanya menyebabkan pengurangan emisi gas rumah kaca berupa CO2 secara sementara sehingga tidak memperlambat laju terjadinya perubahan iklim. Hal ini juga sekaligus mengindikasikan bahwa penurunan emisi gas rumah kaca yang terjadi ketika pandemi COVID-19 bersifat semu. Oleh karena itu, isu perubahan iklim diharuskan tetap menjadi fokus yang diiringi dengan permasalahan pandemi COVID-19.

Penurunan emisi gas rumah kaca secara semu yang terjadi ketika pandemi COVID-19 melanda mengindikasikan bahwa permasalahan perubahan iklim adalah masalah yang cukup menantang untuk diatasi. Penanggulangan perubahan iklim memerlukan suatu komitmen kuat dari seluruh masyarakat dunia agar hasil yang didapatkan signifikan. Untuk menciptakan komitmen bersama, diperlukan kerja sama dan koordinasi antar negara-negara dunia. Salah satu upaya yang dilakukan oleh negara-negara untuk memerangi perubahan iklim adalah dengan mengadakan suatu pertemuan atau konferensi yang membahas permasalahan perubahan iklim.

COP (Conference of the Parties) 27, yakni konferensi perubahan iklim, baru saja diselenggarakan oleh United Nations Framework Convention on Climate Change di Mesir pada November 2022 lalu. COP 27 menghasilkan beberapa highlight kesepakatan. Salah satu kesepakatan utama yang dicapai adalah adanya mekanisme pendanaan baru untuk menanggulangi kerugian dan kerusakan (loss and damage) akibat perubahan iklim di negara-negara berkembang yang rentan. Disepakatinya komitmen negara-negara di dunia untuk melakukan penghapusan penggunaan bahan bakar fosil merupakan salah satu hal yang diharapkan terjadi pada COP 27. Akan tetapi dalam kenyataannya, kesepakatan tersebut tidak tercapai. Padahal, dalam COP 26 narasi Coal Phase Down yang mengajak seluruh negara-negara partisipan untuk secara bertahap mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, yakni batu bara, serta menghapus subsidi bahan bakar batubara yang tidak efisien sudah digaungkan. Kondisi ini menunjukkan bahwa negara-negara dunia masih memiliki keraguan untuk menggantikan bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan. Besarnya keuntungan ekonomi yang diperoleh dari penggunaan bahan bakar fosil kemungkinan besar juga memicu keraguan negara-negara dunia untuk menghapus penggunaan bahan bakar fosil.

Fakta yang menunjukkan bahwa perubahan iklim merupakan permasalahan yang menantang untuk ditaklukkan ternyata tidak menciptakan ketegasan penanggulangan dari negara-negara di dunia. Penurunan konsentrasi gas rumah kaca semu yang terjadi ketika pandemi COVID-19 nampaknya juga tidak cukup memotiviasi negara-negara dunia untuk secara tegas menciptakan komitmen dan aksi penanggulangan perubahan iklim. Hingga saat ini, komitmen yang diciptakan oleh negara-negara dunia dalam menanggulangi perubahan iklim tampak belum secara penuh mementingkan lingkungan. Masih terdapat berbagai pertimbangan yang membuat negara-negara di dunia terkesan setengah-setengah dalam menanggulangi perubahan iklim sehingga dapat disebut sebagai vague commitment. Kondisi ini dapat kita bersama sikapi dengan melakukan aksi-aksi kecil penanggulangan perubahan iklim yang dimulai dari diri sendiri. Dengan dimulai dari diri sendiri, peningkatan kepekaan masyarakat terhadap permasalahan perubahan iklim harapannya dapat tercipta. Hal ini juga diharapkan dapat menjadi suatu kekuatan yang dapat memicu terciptanya ketegasan komitmen antar negara dalam memerangi perubahan iklim di masa yang akan datang.

 

Referensi:

International Monetary Fund. 2020. “The Great Lockdown: Worst Economic Downturn Since the Great Depression” diakses 27 Desember 2022 pada https://www.imf.org/en/Blogs/Articles/2020/04/14/blog-weo-the-great-lockdown-worst-economic-downturn-since-the-great-depression

International Monetary Fund. 2022. “Greenhouse Emissions Rise to Record, Erasing Drop During Pandemic” diakses 27 Desember 2022 pada https://www.imf.org/en/Blogs/Articles/2022/06/30/greenhouse-emissions-rise-to-record-erasing-drop-during-pandemic#:~:text=Emissions%20of%20carbon%20dioxide%20and,permanent%20shift%20downwards%20in%20emissions.

United Nations. “What is Climate Change?” diakses 27 Desember 2022 pada https://www.un.org/en/climatechange/what-is-climate-change

United Nations Children’s Fund. 2021. “COVID-19: Schools for more than 168 million children globally have been completely closed for almost a full year, says UNICEF” diakses 28 Desember 2022 pada https://www.unicef.org/press-releases/schools-more-168-million-children-globally-have-been-completely-closed.

United Nation Environment Programme. 2021. “COVID-19 caused only a temporary reduction in carbon emissions” diakses 28 Desember 2022 pada https://www.unep.org/news-and-stories/press-release/covid-19-caused-only-temporary-reduction-carbon-emissions-un-report

United Nations Environment Programme (2022). Emissions Gap Report 2022: The Closing Window — Climate crisis calls for rapid transformation of societies. Nairobi. https://www.unep.org/emissions-gap-report-2022

 


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.