Oleh : Divisi Geografi Manusia 

Desa Donorejo 

Desa Donorejo berada di Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Desa Donorejo pada saat ini memiliki empat dusun, yaitu Dusun Denansri, Dusun Katerban, Dusun Jogowono dan Dusun Rejosari. Penamaan Desa Donorejo terdiri dari dua kata, yaitu ‘Dono’ dan ‘Rejo’ ketika kedua kata ini digabung akan memiliki arti ‘Menuju Kesejahteraan’. Arti lain dari Donorejo adalah ‘Pemberian Raja’ di mana menurut seorang tetua bahwa dulu nama Donorejo adalah Donorojo, di mana ‘Dono’ artinya pemberian dan ‘Rojo’ berarti Raja.

“Enggak pak, di sini itu dulu dulunya kan Donorojo. Mbah saya kan dari orang sini” Ujar Pak Lurah mengulang ucapan tetua yang Beliau temui.

Asal usul Desa Donosari secara pasti pun masih menjadi teka teki di antara masyarakatnya namun ada dua kepercayaan yang beredar. Teori pertama adalah bahwa dulunya Desa Donorejo terdiri dari dua desa, yaitu Donorejo dan Donosari yang dinamakan berdasarkan kepala desanya. Kedua kepala desa ini pun berselisih dalam memperluas wilayahnya dan akhirnya membuat perjanjian bahwa siapa yang meninggal dahulu maka desanya akan dijadikan wilayahnya.

“Jadi itu sama kuat, jadi imbang kekuatannya cuma kemudian mereka membuat sebuah perjanjian. Siapa yang meninggal dulu berarti itu yang takluk” ujar Pak Didik, salah satu narasumber kami.

Perjanjian ini berakhir dengan ditandai meninggalnya Mbah Donosari dan kedua desa tersebut menjadi Desa Donorejo. Kepercayaan ini pun masih menyirat keraguan dikarenakan tidak adanya bukti pasti dari keberadaan Mbah Donosari yang pada umumnya ditandai dengan adanya keturunan.

Teori kedua menyebutkan bahwa asal usul Desa Donorejo terdapat kaitannya dengan Mbah Resoresono. Walaupun tidak secara jelas diketahui status Mbah Resoresono di Desa Donorejo ini, namun terdapat makam dari Mbah Resoresono beserta keturunannya. Makam tersebut masih sering didatangi untuk ziarah.

Dusun Jogowono 

Menurut sumber berupa cerita yang disebarkan secara turun-temurun, penamaan Desa Jogowono didasari oleh kisah Mbah Wonojoyo. Wonojoyo diduga merupakan seorang eksil dari kerajaan Majapahit. Menanggapi runtuhnya kerajaan yang didiaminya yakni Kerajaan Majapahit akibat ekspansi Kesultanan Demak, beliau bergerak ke arah wilayah yang kini bernama Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah dan bersembunyi di salah satu gua di sana.

Gua ini oleh Mbah Wonojoyo dijadikan tempat singgah, bersembunyi, sekaligus bersemedi. Beliau juga menyimpan pusaka-pusakanya di tempat ini. Gua ini merupakan gua asli yang terbentuk secara alamiah, yaitu akibat proses-proses solusional karst atau pelarutan batugamping oleh air.

Setelah waktu dan kondisi sudah kondusif, Mbah Wonojoyo memutuskan untuk menjelajah membuka lahan yang terletak di sekitar gua. Awalnya akan dibuka lahan di bagian selatan yang berupa hutan namun tidak dilaksanakan karena hutan tersebut menjadi habitat lutung putih. Pembukaan lahan digeser ke selatan namun tidak dilaksanakan juga karena lokasinya berupa hutan jambu, yakni tempat produksi sumber makanan lutung putih.

Kemudian Mbah Wonojoyo memutuskan untuk bergerak ke utara. Dalam pencarian lokasi lahan yang akan dibuka, ditemukan suatu batu yang bersinar seperti bintang sehingga dinamai Watu Lintang. Di utaranya lagi terdapat batu unik yang menyerupai belahan buah jeruk sehingga dinamai Watu Jeruk. Akhirnya ditemukan suatu wilayah yang memungkinkan di sekitar Watu Jeruk, sehingga di situ dilakukan pembukaan lahan dan dibentuk suatu dusun. “Karena beliau menunggu hutan, maka terus di sini dinamai Jogowono. Jadi jogo itu artinya menunggu dan wono itu artinya hutan,” tutur Bapak Riyono, narasumber kami. Jogowono merupakan dua kata dalam bahasa Jawa yang digabung. Nama tersebut digunakan karena Mbah Wonojoyo membuka lahan di tengah hutan yang sebelumnya tak berpenghuni manusia, menunggunya atau menjaganya, termasuk hutan-hutan di sekelilingnya yang menjadi habitat flora dan fauna tertentu agar tetap terjaga habitatnya.

Akhirnya, gua yang sebelumnya menjadi tempat tinggal Mbah Wonojoyo ditinggalkan. Pusaka-pusaka yang berada di gua itupun ikut direlakan. “Gua diikhlaskan, tidak dihuni lagi, kalau istilah Jawa ‘ditegakke’.” Oleh karena itu, gua ini diberi nama Gua Tegoguwo. Gua ini sekarang menjadi milik Pak Riyono, diberikan oleh pendahulu-pendahulunya. Mbah Wonojoyo dimakamkan di dusun temuannya sendiri, tepatnya di Makam Megolamat. Makam tersebut kini sering dikunjungi untuk ziarah.

Gambar 1. Makam Megolamat

Dewasa ini, Lutung-lutung putih yang telah diceritakan kini telah habis atau mungkin jumlahnya terlalu sedikit untuk terlihat di tengah-tengah hutan yang kini telah berubah jenis tumbuhannya, yakni hutan pohon pinus. Terkait Gua Tegoguwo sendiri sampai sekarang masih ada dan bisa dikunjungi, namun dengan kendala akses yang jauh jika berjalan kaki dikarenakan menggunakan kendaraan dinilai berbahaya. Selain itu di dusun ini juga terdapat curug yang cukup tinggi bernama Curug Kembar Mayang, diberi nama demikian karena curugnya ada dua (kembar) dan diharapkan menjadi curug yang cantik atau estetis (mayang).

Gambar 2. Curug Kembar Mayang

Potensi keunikan dan keindahan alam di Dusun Jogowono belum sepenuhnya terkelola dengan maksimal. Ada yang masih diusahakan untuk dijadikan tempat wisata, seperti Watu Lintang, ada juga yang pernah secara resmi dijadikan tempat wisata namun keadaannya tidak selalu terawat (misalnya barang-barang seperti papan nama penanda di Curug Kembar Mayang). Namun ini bukan berarti kekayaan Dusun Jogowono tidak dapat diakses oleh khalayak umum. Masyarakat sekitar pun siap membantu seperti menunjukkan jalan. Objek-objek yang dapat menjadi sarana rekreasi tersebut justru (ketika naskah ini ditulis) terbuka tanpa biaya masuk dan jumlah pengunjungnya relatif sedikit, memberikan kesempatan bagi wisatawan untuk mengeksplorasi dan menghayati kearifan lokal dengan khidmat, leluasa, dan gratis.

Dusun Katerban 

Pada hasil dari forum group discussion dengan warga dusun Katerban yang telah dilakukan terdapat banyak informasi yang dapat diambil mengenai dengan penamaan dari dusun Katerban itu sendiri. Menurut Bapak Didik selaku perwakilan dari warga dusun Katerban menyampaikan bahwa asal-usul tersebut bermula dari para pendahulu atau orang tua-orang tua, tetapi sejarahnya hanya dari cerita turun menurun tanpa ada pembukuan yang valid. Salah satu bukti telah adanya aktivitas masyarakat di dusun Katerban pada zaman dahulu adalah karena ditemukannya empat batu yang disebut sebagai poros atau dalam Bahasa Jawa “Katrep”  yang berarti “pas” sehingga pendahulu menamakan dusun dengan menambahkan imbuhan menjadi bernama Dusun Katerban. Ke-empat batu tersebut yang umumnya pada wilayah tersebut biasa berwarna putih, namun ditemukan juga batu berwarna hitam yang diyakini terdapat pendahulu yang membawa batu tersebut sampai ke dusun Katerban ini. Batu tersebut berada dipertigaan Desa Donorejo dan warga sekitar meyakini bahwa pusat kehidupan masyarakat di zaman dahulu yaitu berada di katerban.

Masyarakat percaya bahwa kehidupan di Dusun Katerban ekonominya sesuai dengan nama dusunnya yang berarti “Pas”. Batu tersebut tidak boleh dibongkar karena sudah disakralkan oleh masyarakat sekitar, namun walau disakralkan, masyarakat tidak mengadakan tradisi atau hari perayaan Selanjutnya, batu besar berbentuk segiempat yang berada di Tegasik dijadikan tugu atau sebagai batas antar blok. Data authentic umur Dusun Katerban lainnya terbukti melalui ditemukannya fosil berupa badak di gua Nguwik yang saat dicek oleh arkeologi cagar budaya Jawa Tengah telah berumur 900.000 tahun. Namun, perihal penemuan fosil tersebut mendapat sanggahan dari tokoh dusun Katerban lainnya yaitu sanggahan dari Bapak Kiai Haji Misbahululmuhir yang mengatakan bahwa umur dusun Katerban tidak dapat diukur dengan ditemukannya fosil, karena pada saat itu belum tentu ada aktivitas manusia di daerah tersebut. Sehingga tidak dapat ditentukan melalui fosil.

Pada dusun Katerban terdapat pula tempat-tempat wisata yang semakin mendukung informasi dalam hal sejarah keberadaan dusun Katerban itu sendiri. Contoh tempat wisatanya itu sendiri adalah adanya Gua Seplawan yang berasal dari kata ‘Sapluwan’ yaitu bahasa Sansekerta yang berarti bahwa tempat suci. Pada Gua Seplawan ini ditemukan arca syiwa-parwati yang artinya di dalam gua tersebut dijadikan sebagai tempat ibadah untuk umat hindu. Masyarakat percaya bahwa arca tersebut berada pada masa mataram hindu.

Warga dusun Katerban sendiri pun tidak mengetahui awal mula keberadaan dari Arca emas yang bernama syiwa-parwati tersebut. Menurut Bapak Didik, terdapat dua kemungkinan yaitu apakah pada jaman perang emasnya dilarikan dan disembunyikan disitu atau memang ada tempat pemujaan bagi orang-orang hindu yang sedang beribadah didalam gua tersebut dan hal tersebut belum ada sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara konkrit. Disamping itu, menurut cerita masyarakat sekitar di dalam gua tersebut jika dilihat melalui indera ke 6 dapat dilihat terdapat kamar yang berisi senjata, tombak, mahkota raja dan uang emas. Hal itu menunjukan ditempat tersebut diperkirakan sebagai tempat persembunyian atau pelarian.

Gambar 3. Goa Seplawan

Selain itu, tempat tersebut sering dilewati tokoh-tokoh penting pada zaman dahulu seperti Sunan Gesing. Menurut cerita dari orangtua dahulu, Sunan Gesing saat melewati Dusun Katerban ingin meminum buah kelapa, namun masyarakat sekitar tidak memberinya. Disitulah Sunan Gesing menyumpahi daerah tersebut bahwa tidak akan ada buah kelapa yang tumbuh selama tujuh keturunan, dan hal tersebut terbukti.

Pada akhirnya sampai dengan tujuh turunan buah kelapa tersebut telah tumbuh. Dari cerita-cerita diatas Bapak Didik menyimpulkan bahwa alasan dari banyaknya tokoh seperti Sunan Gesing ataupun prajurit dari Mataram yang melalui daerah ataupun berdomisili di daerah tersebut karena Seplawan ang menjadi magnetnya. Maka kata “Sapluwan” yang berarti tempat suci itu memang mendekati kata benar. Bapak Didik yakin bahwa tidak serta merta sebesar tokoh Sunan Gesing tidak lewat saja, tetapi pasti ada pesan yang ingin di sampaikan. Pendapat lain menyatakan bahwa nama Goa Seplawan diambil dari kata ‘Lawa’ yang berarti kelelawar.

Daerah wisata di Dusun Katerban ini tidak hanya Gua Seplawan saja, tetapi ada Gua Nguwik. Menurut masyarakat terdapat dua versi cerita mengenai asal-usul nama tempat tersebut, yang pertama itu banyaknya ditumbuhi pohon jeruk uik, sehingga dinamakan Gua Nguwik. Versi yang kedua dikatakan nguik karena jalan masuknya sempit, sehingga ketika memasuki gua tersebut harus digali dulu. “Uik” itu artinya digali, jalan yang sempit dilebarkan. Gua Nguwik sendiri dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Katerban dengan memanfaatkan air sebagai PAM warga seperti untuk keperluan mandi, mencuci, dan kebutuhan hidup sehari-hari lainnya. Namun, sumber air utama itu ada di Kali Terban, Gua Nguwik tersebut hanya dijadikan untuk tambahan. Selain Gua Seplawan dan Gua Nguwik.

Gambar 4. Gua Nguwik

Dusun Katerban memiliki destinasi wisata yang bernama Gunung Kelir. Menurut masyarakat sekitar penamaannya disesuaikan dengan bagian sebelah timurnya yaitu ada gambar-gambar wayang seperti kain putih untuk sarana dakwah Sunan Kalijaga. Arti dari kelir sendiri tersebut adalah layar putih di pewayangan. Ada pula blencong pada bagian kulon progo yang diikuti purworejo. Tumpengnya berada di Gunung Tumpeng dan Kenongnya berada di Watu Kenong, Kulonprogo. Istilah-istilah ini diambil dari nama alat-alat dari pertunjukkan wayang tradisional.

Gambar 5. Gunung Kelir

Dusun Rejosari 

“Jadi ini termasuk padukuhan muda, kurang lebih waktu pemekaran itu tahun 2005”, ujar Kasmanto atau akrab disapa pak Kasmo oleh penduduk sekitar.

Pak Kasmanto merupakan salah satu kepala dusun di desa Donorejo. Dusun tersebut bernama Rejosari. Beliau menceritakan kepada divisi Human Geography Ekspedisi EGSA 2020 mengenai sejarah atau cerita dibalik terbentuknya nama dusun tersebut.

Toponimi “Rejosari” berkaitan dengan alasan mengenai terbentuknya dusun tersebut. Dusun Rejosari merupakan hasil pemekaran dari dusun Denansri. Mulai terbentuk pada tahun 2003 dan tahun 2005 diresmikan serta pak Kasmanto diakuinya sebagai kepala Dusun Rejosari oleh bupati Purworejo.

Denansri merupakan salah satu dusun dengan luas yang cukup besar serta padat penduduk di Desa Donorejo. Kemudian terdapat Desa Kaligono yang melakukan pemekaran dan berhasil. Hasil pemekarannya yaitu dusun Sumbersari Hal tersebut menyebabkan penduduk Dusun Denansri menginginkan pemekaran pula. Dusun Denansri memecah menjadi 2 wilayah dusun yang berbeda, 5 dari 12 RT meminta pemekaran dusun.

Nama Rejosari merupakan gabungan dua kata bahasa Jawa yaitu “Rejo” dan “Sari” yang memiliki arti masing-masing. “Nama Rejosari itu rejo kan istilahnya pusat kemewahan, Sari itu kan keindahan”, ucap pak Kasmanto. Sehingga dusun Rejosari berarti dusun yang mewah dan indah.

Jadi nama Rejosari secara tidak langsung juga mengacu pada nama Sumbersari. Kesuksesan pemekaran di dusun Sumbersari menjadi cikal bakal nama Rejosari yang diusulkan oleh pak Kasmanto dan disetujui oleh masyarakat lain. Sehingga nama Rejosari adalah suatu pengharapan bagi kehidupan dusun tersebut. Sebelumnya wilayah Rejosari termasuk wilayah tertinggal.

Selain nama Rejosari, terdapat juga usulan nama lain seperti Banjarsari dan Carangsari. Tetapi masyarakat tidak menyetujui usulan tersebut karena merasa tidak cocok dengan nama tersebut. Sehingga pada akhirnya usulan pak Kasmanto yaitu Rejosari yang disetujui oleh masyarakat.

Dusun Denansri 

Dusun Denansri merupakan salah satu dari empat dusun yang terdapat di Desa Donorejo. Dusun ini terletak di sebelah utara Desa Donorejo. Dusun ini memiliki sejarah yang ada kaitannya dengan keberadaan seseorang bernama Mbah Reso Resono dan dan adanya cerita tentang Mbah Donosari.

Kedua tokoh yang disebutkan di atas dipercaya merupakan orang-orang terdahulu yang tinggal di dusun ini. Status Mbah Reso Resono menurut narasumber, Mbah Hadi, merupakan lurah dari Denansri. Mbah Reso Resono berasal dari daerah Samigaluh, Kabupaten Kuloprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ada dua versi terkait identitas beliau, pertama yaitu beliau merupakan prajurit Pangeran Diponegoro yang ikut berjuang melawan Belanda, dan yang kedua yaitu beliau hanyalah keturunan dari salah satu prajurit Pangeran Diponegoro. Makam Mbah Reso Resono sendiri berada Telogo Nguluh. Adapun identitas Mbah Donosari masih belum jelas, karena kurangnya informasi yang diterima turun-temurun. Ada yang mengatakan bahwa beliau hanyalah tokoh gaib, ada juga yang mengatakan bahwa beliau dulunya salah satu sepuh di Denansri sebelum Mbah Reso Resono. Satu hal yang pasti adalah keberadaan petilasan yang bernamakan nama beliau.

Dusun Denansri memiliki asal usul dari beberapa sudut pandang. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari hasil wawancara, asal usul nama Denansri masih belum diketahui secara absah kronologi ataupun alur cerita yang sebenarnya. Nama Dusun Denansri kemungkinan diambil dari kata Donosari. Pak Rudi, Kepala Dusun Denansri, mengatakan bahwa “Kemungkinan dahulu Dusun Denansri belum diberikan nama. Setelah adanya Mbah Donosari mungkin baru ada”. Mbah Donosari merupakan cerita “gaib” yang dikembangkan secara turun-temurun oleh warga setempat. Mbah Donosari konon menjadi tokoh yang memberikan nama pada Dusun Denansri lantaran terdapat petilasan Mbah Donosari yang terletak di Dusun Denansri. Apabila ditinjau dari hal tersebut, dahulu Dusun Denansri bernama Donosari, tetapi sekarang berubah nama menjadi Dusun Denansri. Nama Denansri sendiri timbul kemungkinan disebabkan oleh adanya keterkaitan dengan nama Donosari. Versi lain juga menurut narasumber lain, yaitu Mbah Hadi. Beliau menyebutkan bahwa perubahan nama Donosari menjadi Denansri tidak terlepas dari keberadaan Gua Sendangsari, yakni terkait masalah pengucapan yang lebih “nyambung”. Sementara nama Donorejo dimungkinkan diambil dari kata “Dono” dalam Donosari.

Gambar 6. Suasana Forum Group Discussion (FGD) Dusun Denansri

Selain itu, terdapat informasi bahwa pada zaman dahulu penamaan di suatu daerah juga dapat berdasarkan nama pemimpinnya. Hal tersebut dikaitkan dengan asal usul Donosari sendiri. Dahulu terdapat dua kepemimpinan yakni Donorejo dan Donosari. Akan tetapi, kepemimpinan atas nama Donorejo harus gugur lantaran telah wafat terlebih dulu. Maka dari itu, nama Donosari terpilih dan kemungkinan menjadi asal usul adanya nama Dusun Denansri. Mbah Wahono mengatakan bahwa perubahan nama Donosari menjadi Denansri disebabkan oleh penyebutannya yang lebih mudah.

Dusun Denansri memiliki dua tempat wisata yakni wisata Gua Sendangsari dan Wisata Gunung Cilik. Kedua wisata tersebut juga memuat informasi terkait toponominya. Berdasar atas informasi yang didapat dari wawancara, Gua Sendangsari ditemukan sekitar pada tahun 1982 dan lantas diberikan nama pada waktunya bersamaan. Gua Sendangsari memiliki makna dimasing-masing katanya. ‘Sendang’ berasal dari bahasa Jawa yang berarti air atau mata air, sedangkan kata ‘Sari’ berarti indah. Gua Sendangsari konon dahulu memiliki air yang melimpah sehingga disebut-sebut menjadi salah gua yang indah dan banyak dikunjungi di Desa Donorejo. Tempat Wisata di Dusun Denansri yang kedua, Gunung Cilik, merupakan salah satu gunung dari pegunungan yang menyajikan pemandangan alam dan hutan pinus. Nama Gunung Cilik diambil oleh warga setempat ditinjau atas kondisi geografisnya. Gunung Cilik memiliki ukuran yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan gunung-gunung yang ada disekitarnya. Hal itu dijelaskan secara rinci oleh Mbah Wahono yakni, “Terdapat tiga gunung, di selatan terdapat Gunung Keseneng, di tengah terdapat Gunung Cilik, dan di sebelah utara terdapat Gunung Setawing. Apabila ketiga gunung tersebut ukurannya dibandingkan, Gunung Cilik memiliki ukuran yang paling kecil”.

Gambar 7. Gunung Cilik

Infografis