Oleh : Divisi Survei Pemetaan Geomorfologi

Pegunungan Menoreh, sebuah bentangan fisik yang terpampang luas dan menjadi sebuah batas alami bagi 3 daerah yang berbeda, yaitu Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Magelang, dan Kabupaten Purworejo. Asal-usul terbentuknya kenampakan fisik ini berkaitan erat dengan pembangunan sebuah candi di Indonesia yang juga dinyatakan sebagai salah satu keajaiban yang ada di dunia, yaitu candi Borobudur. Candi terbesar di dunia ini didirikan pada kurun waktu sekitar 760 dan 830 M yang pada saat itu merupakan masa-masa kejayaan dari Wangsa Syailendra dengan dibawahi oleh Raja Samaratungga. Pembangunan candi Borobudur dirancang oleh seorang pangeran yang bernama Gunadharma, salah seorang putra Mataram. Terkait hal tersebut, masyarakat sekitar percaya bahwa pangeran Gunadharma saat ini tidur abadi di bagian selatan Candi Borobudur dalam bentuk rangkaian pegunungan Menoreh, mengawasi bangunan hasil dari rancangannya sendiri. Bentuk pegunungan Menoreh jika diperhatikan secara seksama, akan terlihat seperti seseorang yang sedang berbaring dengan menggunakan mahkota dan terdapat bagian-bagian anggota badannya yang diuraikan pada rangkaian pegunungan Menoreh tersebut (Kempers & Soekmono, 1974).

Gambar 1.1 Pemandangan Pegunungan Menoreh

Pegunungan Menoreh terbentang luas dan meliputi berbagai daerah yang ada di Jawa Tengah, tak terkecuali Desa Donorejo. Desa Donorejo, Kecamatan Kaligesing merupakan bagian dari Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah yang berbatasan langsung dengan DIY, khususnya daerah Kulon Progo. Menurut seorang ahli Geomorfologi asal Belanda yaitu Van Bemmelen (1949) (Gambar 1.1 dan 1.2), morfologi daerah ini merupakan bagian dari wilayah pegunungan Kulon Progo yang merupakan dome besar dengan bagian puncak datar dan sayap-sayap curam yang dikenal sebagai “Oblong Dome”. Dome ini mempunyai arah utara timur laut – selatan barat daya dengan diameter yang pendek, yaitu sekitar 15-20 km, dengan arah barat laut-timur tenggara.

Gambar 1.2 Sketsa Fisografi Jawa dan Kenampakan Struktur Dome
Gambar 1.3 Letak Wilayah Pegunungan Kulon Progo di Pulau Jawa

Wilayah ini terbentuk oleh kumpulan beberapa gunungapi purba. Pada wilayah ini dapat ditemui beberapa gunungapi purba yang bagian bekas dapur magmanya kemudian terangkat ke permukaan, yakni Gunung Gajah, Gunung Ijo, dan Gunung Menoreh. Gunung Gajah terletak di bagian tengah dome tersebut. Gunung Gajah merupakan gunungapi purba  tertua dari gunungapi purba lainnya pada jejeran pegunungan Menoreh. Gunungapi yang kemudian terbentuk yaitu Gunungapi Ijo yang terletak di bagian selatan. Setelah kegiatan Gunung Gajah berhenti dan mengalami denudasi (penggerusan), di bagian utara mulai terbentuk Pegunungan Menoreh, yang merupakan gunung terakhir pada komplek pegunungan Kulon Progo. Hasil dari kegiatan vulkanisme Gunungapi Andesit Tua di daerah tersebut yang kemudian menurut Van Bemmelen (1949) menjadi batuan penyusun formasi Formasi Andesit Tua (Old Andesite Formation or OAF).

Gambar 1.4 Diagram Statigrafi Regional Kulonprogo

Stratigrafi (perlapisan batuan) regional Kulon Progo tersusun oleh formasi-formasi batuan yang apabila diurutkan dari tua ke muda yakni Formasi Nanggulan, Formasi Kebo Butak, Formasi Andesit Tua (Old Andestie Formation or OAF), Formasi Jonggrangan, Formasi sentolo, dan yang terakhir adalah Alluvium (Widagdho, dkk. 2016).

Gambar 1.5 Pola Struktur Pegunungan Kulonprogo

Dome Kulon Progo ini mempunyai puncak yang datar. Bagian puncak yang datar ini dikenal sebagai “Plato Jonggrangan“ yang tertutup oleh batugamping koral dan napal dengan memberikan kenampakan topografi “karst“ (Gambar 1.4). Adanya kenampakan batugamping koral dan napal pada daerah ini menunjukkan bahwa daerah ini dulunya merupakan daerah laut dangkal yang kemudian mengalami pengangkatan. Bagian bentuk permukaan bumi ini dijumpai di sekitar desa Jonggrangan, sehingga litologi di daerah tersebut dikenal sebagai Formasi Jonggrangan. Ketebalan dari Formasi Jonggrangan ini mencapai sekitar 250 meter. Van Bemmelem (1949) menyebutkan bahwa Formasi Jonggrangan dan Formasi Sentolo keduanya merupakan bagian dari Formasi Kulon Progo (Westopo Beds). 

Sebagian besar Formasi Jonggrangan tersusun oleh batuan gamping. Apabila mengalami perkembangan yang lebih lanjut, maka akan membentuk karst. Istilah karst dapat dirunut dari etimologinya yang berarti lahan gersang berbatu (Kranjc. A, 2001). Istilah tersebut berakar dari rumpun bahasa Indo-Eropa yang bermula dari kata karra/ garra. Menurut Ford (2007), karst dapat didefinisikan sebagai daratan dengan karakteristik bentuklahan serta karakteristik hidrologi yang khusus dan dihasilkan oleh kombinasi batuan yang mudah larut dan adanya porositas sekunder yang berkembang dengan baik. Secara genesis, hidrologi airtanah merupakan salah satu agen geomorfologi yang membentuk bentangan karst.

Karst secara genesis terbagi dalam dua kelompok besar, yakni karst erosional serta karst konstruksional (Ford, 2007). Karst erosional adalah wilayah yang secara keseluruhan mengalami pengurangan batuan akibat adanya pelarutan yang lebih besar daripada pengendapan. Di lain sisi, karst konstruksional merupakan wilayah dengan pengendapan yang lebih dominan dari proses pelarutan. Umumnya, karstifikasi di hulu atau bagian lereng atas dari suatu pegunungan merupakan zona erosional. Hal tersebut dapat diamati pada gambar 1.6

Gambar 1.6 Karst Hasil Erosi dan Deposisi

Suatu kajian dalam wilayah karst memerlukan data-data berupa satuan area geologi dengan atribut data-data hidrologinya. Secara geologis, sebagian Desa Donorejo termasuk dalam Formasi Jonggrangan yang memiliki litologi batuan konglomerat, napal tufan, batugamping pasiran dengan sisipan lignit dan batugamping berlapis koral. Secara geomorfologi, wilayah Formasi Jonggrangan dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu wilayah Plato Jonggrangan dan wilayah fluviokarst (Ashari, 2013). Wilayah Plato Jonggrangan dominan berada di sisi tengah formasi sementara wilayah fluviokarst mendominasi bagian sisi sayap lereng pegunungan.  Ketinggian wilayah formasi Jonggrangan mencapai 800-900 mdpal sehingga hujan bertipe orografis cukup banyak terjadi sehingga kondisi iklim bersifat basah. Penggunaan lahan di Karst Jonggrangan umumnya berupa kebun campuran.

Kondisi batuan karbonat dengan morfologi berbukit dan iklim yang basah membuat proses karstifikasi di Desa Donorejo berlangsung dengan relatif baik. Proses tersebut merupakan proses kimiawi berupa pelarutan. Formasi Jonggrangan yang terdiri atas batuan tuf, batupasir karbonatan, batugamping pasiran, batugamping koral, dan konglomeratan mengandung kalsit yang dapat terlarut relatif lebih mudah. Secara umum, kandungan kalsit dan kondisi iklim yang basah dalam formasi Jonggrangan membuat proses pelarutan menjadi intensif. Proses pelarutan tersebut secara kimiawi dapat ditulis sebagai berikut:

CaCO3(s) + H+ 🡪 Ca2+ + HCO3-

Persamaan Rumus Pelarutan Kalsit 

Proses pelarutan umumnya terjadi pada bagian permukaan (epikarst). Bentukan yang dihasilkan dari pelarutan sangat bervariasi secara ukuran, mulai dari yang sangat kecil seperti karren atau yang membentang hingga berkilo-kilometer seperti polje. Dalam memahami proses pelarutan dalam karstifikasi, maka hubungan antara proses hidrologis, litologi dan struktur batuan, variasi limpasan, serta variasi suhu perlu untuk diikutsertakan. Proses tersebut secara terus-menerus akan menghasilkan bentukan residual (sisa) di permukaan karst.

Gambar 1.7 Genesis Morfologi Dolina (Cekungan)
Gambar 1.7 Penampang 3D Pembentukan Dolina (Cekungan) di Wilayah Tropis
Gambar 1.8 Kenampakan Cockpit Karst

Mengacu pada gambar 1.6, 1.7, dan 1.8, terdapat diagram pembentukan kerucut karst, dolina, hingga cockpit karst. Ketiga bentukan tersebut merupakan hasil pelarutan batuan yang mudah larut. Suatu depresi akibat pelarutan disebut sebagai dolina yang akan meninggalkan morfologi (bentukan) sisa berupa suatu bukit yang bernama kerucut karst. Saat stadia proses sudah memasuki tahap lanjut, dolina akan semakin lebar dan datar sehingga membuat kerucut-kerucut karst terisolasi dan mengelilingi dolina tersebut atau yang kemudian dikenal dengan istilah cockpit karst.

Selain itu, proses pelarutan pada bentanglahan karst juga dapat membentuk lubang yang bernama ponor atau lubang tempat masuknya air. Lokasi lubang inilah yang nantinya mempengaruhi bentuk tipe gua yang terbentuk. Jika lubang terletak pada puncak bukit, air mampu melewati material dengan cepat sehingga terbentuk suatu lorong tunggal yang panjang. Lubang yang berada di ketinggian rendah seperti lembah akan mengalir secara lambat dan membentuk lorong seperti labirin di cakupan area yang kecil.

Kondisi kawasan karst seperti di Perbukitan Menoreh yang tertutup vegetasi rapat mempersulit proses penemuan gua. Jenis gua yang dapat ditemui berupa gua vertikal dan horizontal. Gua vertikal adalah gua yang mempunyai mulut vertikal yang lorongnya memanjang ke bawah. Gua vertikal merupakan hasil perkembangan lanjut sinkhole. Warga lokal di Desa Donorejo biasa menyebutnya dengan istilah luweng, yang menurut KBBI artinya adalah  lubang yang dalam. Sedangkan gua horizontal merupakan gua dengan mulut yang diikuti dengan lorong yang memanjang horizontal.

Gambar 1.9 Contoh perkembangan lorong vertikal dan pola lorong gua

Gua vertikal biasanya berkembang karena runtuhnya atap gua. Pembentukan gua vertikal dapat terjadi di lembah ataupun doline. Adanya pengangkatan mempengaruhi tingkat lorong gua, dan lorong vertikal membentuk lorong utama sebagai pintu masuk gua (Labib et al., 2019). Gua Temanten yang ditemui di pinggir jalan menuju Gua Seplawan merupakan salah satu contoh gua vertikal. Wilayah di cekungan yang dipenuhi dengan vegetasi lebat mempersulit akses ke tempat tersebut. Dari kejauhan terlihat kenampakan lubang vertikal yang dalam sehingga apabila akan dilakukan pengamatan lebih jelas diperlukan peralatan lengkap untuk memasuki gua.

Gua Seplawan merupakan gua yang cukup terkenal dan dijadikan sebagai tempat wisata. Gua di Desa Donorejo ini memiliki pintu masuk dengan lorong vertikal ke bawah yang cukup dalam dan diduga merupakan hasil perkembangan lubang ponor atau lubang tempat masuknya air. Mulut Gua Seplawan terletak pada cekungan yang biasanya disebut dengan doline. Mulut gua vertikal ini cukup dalam sehingga harus menuruni anak tangga yang memanjang ke dalam untuk mencapai dasarnya. Setelah sampai dasar, Gua Seplawan memiliki lorong mendatar yang cukup panjang dan sudah dilengkapi penerangan di beberapa titik untuk melihat kenampakan di dalam gua.

Gambar 1.10 Foto Udara Tempat Wisata Gua Seplawan
Gambar 1.11 Mulut Gua Seplawan

Gua horizontal adalah gua yang mempunyai lorong yang memanjang secara mendatar, meskipun tidak sepenuhnya datar atau landai. Salah satu gua horizontal yang ada di kawasan karst Jonggrangan adalah Gua Anjani. Gua ini juga cukup terkenal sebagai tempat wisata. Gua ini terbentuk dari ponor yang mengalami perkembangan lanjut menjadi lorong mendatar yang panjang. Pada gua ini terdapat temuan menarik yang ada di dekat mulut gua yaitu nampaknya fosil terumbu karang serta hewan laut lainnya.

Proses yang terjadi di dalam gua dapat diketahui dengan mengamati bentukan bentukan kecil yang ada di dinding, lantai, maupun atap gua. Bentukan kecil ini biasa disebut dengan speleogen. Speleogen yang ditemukan diantaranya yaitu solution notch atau lengkungan kecil pada dinding gua akibat pengaruh derasnya air yang mengalir. Solution notch banyak dijumpai di dekat mulut gua. Sedangkan ornamen gua yang ditemukan berupa stalaktit dan stalakmit. Stalaktit merupakan hasil pengendapan kalsit yang berasal dari tetesan air dari atas atap gua. Oleh karena itu, stalaktit ini terlihat menggantung dari atap gua dan umumnya berbentuk memanjang dan meruncing. Tetesan air dari atap gua juga jatuh ke lantai gua dan ketika terjadi penguapan air maka mineral kalsit akan terendapkan di lantai gua. Proses ini menghasilkan bentukan stalakmit yang berbentuk memanjang dan meruncing ke atas (Sari, R.P. 2020).

Gambar 1.12 Ornamen Gua: Stalaktit

Infografis

Daftar Pustaka

Ashari, A. (2013). Kajian Geomorfologi Kompleks Gua Seplawan Kawasan Karst Jonggrangan. Geomedia,11(2), 52-63.

Çılğın, Zeynel & Bayrakdar, Cihan & Oliphant, Joseph. (2014). An Example of Polygenetic Geomorphologic Development (Karst-Glacial-Tectonics) on Munzur Mountains: Kepir Cave-Elbaba Spring Karstic System. International Journal of Human Sciences. Volume 11. 89-104.

Ford, Derek & Williams, Paul. (2007). Karst Hydrology and Geomorphology. John Wiley & Sons

Kempers, A.J, Soekmono. (1974). Candi Mendut, Pawon, dan Borobudur. Bandung : Ganaco N.V

Kranjc, A. (2001). About the Name Kras (Karst) in Slovenia, Proceedings of the 13th International Congress of Speleology, Brazilia, Vol. 2, 140–2

Labib, M. A., Haryono, E., & Sunarto. (2019). The Development of Cave Passage in Donomulyo, Malang-Indonesia. E3S Web of Conferences, 76, 04010. https://doi.org/10.1051/e3sconf/20197604010

Sari, R. P. (2020). Analisis Mineral Pembentuk Facies Gua Salukang Kallang Kawasan Karst Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Maros. Jurnal Sains dan Pendidikan Fisika, 15(3).

Widagdo, Asmoro and Pramumijoyo, Subagyo and Harijoko, Agung (2016), Kajian Pendahuluan Kontrol Struktur Geologi Terhadap Sebaran Batuan-Batuan di Daerah Pegunungan Kulonprogo, Yogyakarta. Proceeding, Seminar Nasional Kebumian Ke-9, Peran Penelitian Ilmu Kebumian Dalam Pemberdayaan Masyarakat, 6 – 7 Oktober 2016; Grha Sabha Pramana. ISSN 2477 – 0248.