Oleh : Divisi Manajemen Bencana

Menurut UU No. 24 Tahun 2007, bencana didefinisikan sebagai rangkaian peristiwa yang mengancam dan menimbulkan kerugian berupa korban jiwa, lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis, baik yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia.

Gambar 1 Suasana sunrise di Goa Seplawan
Gambar 2 Suasana sunrise di Goa Seplawan

Desa Donorejo merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Desa ini berada di bagian timur Kabupaten Purworejo yang berada di wilayah perbatasan antara Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa Donorejo terdiri dari empat dusun, yaitu Katerban, Jogowono, Denansri, dan Rejosari. Secara geologis, desa dengan luas 5,96 km2 ini, terletak pada Formasi Jonggrangan dengan endapan berupa konglomerat, napal tufan dan batupasir gampingan berlapis dan batugamping koral. Satuan geomorfologi desa ini berupa perbukitan denudasional yang terletak pada ketinggian antara 500 – 750 mdpl dengan kemiringan lereng lebih dari 35°.

 Desa Donorejo memiliki iklim tropis dengan rata-rata curah hujan tahunan sebesar 2.218 mm. Sama seperti daerah-daerah lainnya di Jawa, hujan dengan intensitas tinggi terjadi di desa ini pada bulan November hingga Maret. Menurut Rencana Kinerja Tahunan (RKT) Kabupaten Purworejo Tahun 2018, curah hujan yang tinggi tersebut secara langsung dapat mengakibatkan penjenuhan pada tanah permukaan sehingga memengaruhi drainase permukaan tanah. Hujan dengan intensitas tinggi menjadi salah satu pemicu (trigger factor) terjadinya bencana yaitu banjir dan tanah/lahan longsor. Dengan kondisi fisik seperti itu, desa ini memiliki ancaman terhadap bencana alam, terutama tanah bergerak dan tanah longsor.

 Longsor merupakan salah satu mekanisme gerak massa batuan. Gerakan massa ini mengandung material pembentuk lereng, yang bergerak ke bawah dikarenakan adanya gaya gravitasi (Goudie, 2004). Menurut Dr. Djati Mardiatno, M.Si., dosen Fakultas Geografi UGM sekaligus peneliti di Pusat Studi Bencana (PSBA) UGM, longsor adalah gerakan material, baik tanah, batuan, maupun kombinasi keduanya, yang bergerak menuruni lereng dengan kecepatan bervariasi tergantung pada proses yang bekerja.

 Berdasarkan tipologi materialnya, longsor dapat diklasifikasikan menjadi longsor dengan material halus, material campuran tanah dan batu, dan material batu. Sementara itu, longsor berdasarkan kecepatan pergerakannya, dapat dibagi menjadi longsor yang bergerak sangat cepat dan longsor yang sangat lambat seperti rayapan (creeping) atau lebih dikenal dengan tanah bergerak. Jika dilihat dari kekentalan materialnya atau viskositasnya, longsor terdiri atas aliran yang sangat cair dan aliran yang sangat padat (Mardiatno,2020).

Gambar 3 Wawancara dengan Djati Mardiatno, peneliti di Pusat Studi Bencana (28/01/2020)
Gambar 4 Pusat Studi Bencana (PSBA-UGM)

Secara umum, proses terjadinya longsor diawali dengan pemicu berupa hujan yang  dilanjutkan proses infiltrasi dimana air hujan masuk ke dalam tanah. Pada saat masuk ke dalam tanah, terdapat material lapuk yang ditemukan dalam lapisan kedap air yang akan menjadi bidang gelincir. Bidang gelincir ini layaknya “papan luncur” material yang ada di atasnya. Oleh karena itu, secara umum longsor terjadi jika ada beban pada material yang menyusun lereng tersebut. Beban yang dimaksud bervariasi jenisnya, bisa dari air tanahnya, dari adanya beban penutup lahan di atasnya, ataupun karena longsor telah mencapai titik kritis dimana material itu akan bergerak. Apabila semua faktor diatas telah melampaui titik kritisnya, maka material tersebut akan bergerak dan turun menjadi apa yang disebut dengan longsor. 

 Bencana tanah longsor di Desa Donorejo memberikan dampak kerugian bagi kehidupan masyarakatnya. Pada tahun 2017 terjadi bencana longsor berupa tanah bergerak (creeping) di Dusun Denansri, tepatnya pada koordinat geografis -7.75364164, 110.11023738. Bencana tanah bergerak terjadi akibat tingginya curah hujan yang mengguyur wilayah tersebut. Akibat bencana yang terjadi di Dusun Denansri pada tanggal 28 November 2017 tersebut, 62 jiwa dari 18 kepala keluarga (KK) harus mengungsi. Lokasi pengungsian diantaranya berada di Mushola Al-Roudloh dan rumah salah satu warga (Sukirin) di RT 02 RW 04 Desa Donorejo. Masih di Desa Donorejo, longsor juga terjadi di Dusun Jogowono tepatnya pada koordinat geografis -7.76155887, 110.09824089 walaupun dengan intensitas yang lebih kecil.

Gambar 5 Kenampakan Longsor di Dusun Denansri
Gambar 6 Kenampakan Tanah Gerak di Dusun Denansri

Secara garis besar, menurut Dr. Djati Mardiatno, M.Si., longsor sendiri dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Pendapat ini diperkuat oleh McCall dkk (1992) yang menyatakan bahwa keseimbangan gaya pada lereng dipengaruhi dua faktor utama yaitu perubahan internal dan perubahan eksternal. Perubahan internal menyebabkan penurunan ketahanan balok lereng dan termasuk pelemahan material dasar penyusun lereng oleh pelapukan kimia dan fisika, serta perubahan kondisi airtanah. Faktor internal sendiri disebabkan oleh material  dasar yang menyusun suatu wilayah. Material yang menyusun suatu kawasan terdiri dari material yang lepas-lepas kemudian material itu terlapukkan sehingga mudah bergerak yang akan sangat mudah untuk mengalami longsor. Faktor internal lainnya yaitu air tanah, semakin dangkal air tanah, maka kawasan tersebut mudah terjadi longsor. Faktor kedua adalah faktor eksternal  yang bukan berasal dari lapisan tanah penyusun. Perubahan eksternal memicu pada peningkatan tegangan blok batuan dan termasuk lereng menjadi curam (akibat erosi), penambahan lereng (akibat deposisi, pembebanan, atau pembangunan), dan perubahan vegetasi. Salah satu contohnya adalah penggunaan lahan yang tidak sesuai mengakibatkan munculnya lereng-lereng yang semula landai menjadi curam dan memicu terjadinya longsor yang lebih besar. Faktor yang ketiga adalah faktor pemicu, faktor ini bisa berupa hujan atau berupa getaran seperti adanya gempa bumi serta aktivitas manusia seperti kegiatan penambangan. Kesimpulannya semua faktor di ataslah yang nantinya akan mengakibatkan terjadinya longsor di suatu daerah.

Gambar 7. Foto bersama setelah wawancara dengan Saifurrohman, Ketua RT 01 Dusun Denansri

Saifurrohman, Ketua RT 01 Dusun Denansri, menyampaikan bahwa sebelum terjadinya tanah bergerak, terjadi hujan dengan intensitas ringan namun dengan durasi yang lama. Hujan terjadi selama tiga hari berturut-turut hingga batu besar pada tebing yang tinggi runtuh. Air hujan tidak bisa lagi tertampung oleh tanah sehingga menyebabkan terjadinya tanah bergerak. Pergerakan tanah tersebut tidak terlalu cepat ibarat jarum jam yaitu pelan-pelan tapi merusakkan. Warga sekitar juga sudah mengetahui sebelumnya bahwa akan terjadi tanah bergerak dan bersiap-siap untuk meninggalkan rumah serta selalu waspada karena menyadari adanya pergerakan tanah yang terjadi secara perlahan dan dapat menimbulkan marabahaya sewaktu-waktu.

 Longsor sendiri merupakan mekanisme gravitasional. Menurut Mardiatno, longsor itu pasti akan terjadi di kawasan-kawasan dengan lereng yang relatif curam. Meskipun demikian, longsor itu sebenarnya mudah diprediksi. Longsor dikatakan mudah diprediksi karena di Indonesia pemicu utamanya yaitu hujan. Jadi kalau terjadi hujan deras walaupun durasinya singkat, itu akan memicu terjadinya longsor. Apabila hujannya tidak deras, tetapi  durasinya lama juga dapat memicu terjadinya longsor. Permasalahannya sekarang adalah berapa ambang batas hujan yang dapat digunakan untuk memberikan peringatan akan terjadinya longsor karena untuk setiap daerah dapat berbeda-beda. Ada yang menyatakan 20 mm, 40 mm, dan 60 mm. Perkiraan yang beda-beda tersebut menjadikan tantangan tersendiri dalam memprediksi longsor.

Gambar 8 Proses pengukuran longsor di Dusun Denansri
Gambar 9 Proses pengukuran longsor di Dusun Denansri

Suatu fenomena alam dan bencana seperti tanah longsor dapat menyebabkan jatuhnya korban, baik materiil maupun korban jiwa. Oleh karena itu, diperlukan upaya dan tindakan untuk mengurangi potensi kerugian akibat longsor yang salah satunya dapat dilakukan dengan mitigasi bencana. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008 Pasal 1 ayat (6) Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, mitigasi dapat didefinisikan sebagai serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

Gambar 10. Siklus Penanggulangan Bencana

Tindakan mitigasi bencana sangat banyak bentuknya, diantaranya dapat berupa Early warning System atau sistem peringatan dini. Early Warning System (EWS) adalah suatu sistem peringatan dini dan diperlukan pemahaman serta komitmen dalam penggunaannya. “Pemahaman terhadap EWS tidak boleh hanya pada instrumen saja, tetapi kita harus mulai dari komitmen awal kemudian sampai pada komitmen untuk keberlanjutan” , hal tersebut disampaikan oleh dosen Departemen Geografi Lingkungan UGM, Djati Mardiatno yang juga menjadi peneliti di Pusat Studi Bencana  (PSBA) UGM.

Gambar 11. EWS yang telah terpasang di Dusun Denansri, Desa Donorejo.
Gambar 12. EWS yang telah terpasang di Dusun Denansri, Desa Donorejo.

Bencana yang terjadi di Desa Donorejo telah mendapatkan perhatian dari Pemerintah dan instansi terkait. Menurut informasi yang didapatkan dari Ketua RT 01 Dusun Denansri, kegiatan sosialisasi kebencanaan pernah dilakukan oleh Pemerintah dan mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Purworejo juga telah melakukan pemasangan Early Warning System bencana tanah longsor di wilayah tersebut. EWS telah dipasang di RT 01 Dusun Denansri, Donorejo.

Gambar 13. Kantor BPBD Kabupaten Purworejo

Instrumen peringatan dini longsor hanyalah satu bagian dari sistem peringatan dini yang ada, sehingga dalam memasang instrumen peringatan dini longsor, apakah itu ekstensometer ataupun sipendil semua hanya alat saja. Tetapi, bagaimana alat tersebut betul-betul nanti bisa berfungsi dan berkelanjutan, perlu diawali dengan pengenalan sosialisasi terlebih dahulu, kemudian masyarakat setempat harus diajak untuk terlibat sehingga alat tersebut tidak hanya sekedar instrumen tetapi diharapkan akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Adanya sistem peringatan dini yang dipahami dengan baik oleh masyarakat sekitar dapat mengurangi potensi korban jiwa dan kerugian lain serta meningkatkan kewaspadaan masyarakat menghadapi tanah longsor.

Menurut Edi Purwanto, Kepala Bidang Mitigasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Purworejo, masyarakat setempat harus memiliki rasa waspada terhadap lingkungan sekitar. Pembekalan mengenai tanda-tanda bencana dan mitigasi awal saat terjadi bencana telah diberikan oleh BPBD Purworejo agar masyarakat tidak gugup dan kebingungan dalam menghadapi bencana. Berdasarkan hasil wawancara dengan Saifurrohman, Ketua RT 01 di Dusun Denansri, Desa Donorejo, upaya antisipasi telah dilakukan oleh warga untuk mencegah merebaknya kejadian tanah bergerak. Upaya tersebut dilakukan dengan cara membuat saluran-saluran air sehingga air tidak lagi masuk ke retakan-retakan tanah, dan kerusakan tanah akibat penambahan laju air pun dapat diredam. Jadi, dengan adanya saluran air, diharapkan air akan masuk ke sana dan air dapat mengalir dengan lancar.

Gambar 14. Bersama Drs. Sutrisno (Kepala Pelaksana) dan Drs. Edi Purwanto (Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan) BPBD Kabupaten Purworejo

Pada kegiatan EKSPEDISI EGSA 2020, tim kajian Manajemen Bencana juga mengkaji mengenai kapasitas individu dalam merespon bencana. Pengkajian tersebut dilakukan melalui kegiatan sosialisasi dan simulasi mengenai bencana alam dan mitigasinya. Kegiatan tersebut dilaksanakan secara meriah dan diiringi oleh antusiasme 35 peserta dari SDN 1 Donorejo yang masih duduk di bangku kelas empat dan lima.

Pemberdayaan dan pembekalan materi dilakukan kepada anak usia dini untuk memberikan pemahaman mengenai mitigasi bencana merupakan langkah awal mewujudkan masyarakat tangguh bencana. Harapannya, ketika terjadi bencana masyarakat tidak lagi kebingungan dan panik karena telah memahami bagaimana cara merespon dan meminimalisasi risiko bencana alam tersebut. Hal tersebut menjadi salah satu motivasi dilaksanakannya kegiatan sosialisasi tersebut dengan harapan dapat meningkatkan kapasitas serta kemampuan masyarakat merespon bencana, terlebih lagi mereka bertempat tinggal di lokasi yang rawan bencana semacam tanah longsor.

Gambar 15. Kegiatan sosialisasi kepada murid kelas 4 dan 5 SDN 1 Donorejo
Gambar 16. Kegiatan sosialisasi kepada murid kelas 4 dan 5 SDN 1 Donorejo

Sosialisasi terlaksana dengan lancar dan penuh kemeriahan. Materi yang diberikan pada sosialisasi ini adalah pengenalan tentang bencana alam serta bagaimana cara menanggulanginya, juga praktek simulasi mitigasi bencana gempa bumi, tanah longsor, gunung meletus, banjir dan juga puting beliung. Di antara itu, materi dan simulasi mengenai tanah longsor menjadi topik utama sosialisasi ini karena wilayah di sekitar SDN 1 Donorejo merupakan lokasi yang rawan bencana longsor sehingga diperlukan pemahaman lebih agar peserta dan masyarakat dapat melakukan mitigasi serta kewaspadaan lebih dini jika sewaktu-waktu terjadi bencana tanah longsor. Materi disampaikan secara interaktif dan kreatif, yaitu melalui penayangan video animasi tanggap bencana, lagu siaga bencana, serta jargon-jargon menarik yang disiapkan pemateri. Simulasi bencana dilakukan di halaman sekolah dengan metode permainan, yaitu permainan jamuran yang dimodifikasi menjadi permainan edukatif yang menggambarkan suatu bencana alam dan simulasi bagaimana menghadapi bencana tersebut. Metode-metode tersebut tampaknya cukup efektif karena dapat menarik perhatian peserta. Peserta yang masih termasuk siswa sekolah dasar dapat memahami materi yang diberikan dengan baik dan sangat aktif serta atraktif yang ditunjukkan dengan antusiasmenya menjawab pertanyaan di akhir sesi. Kegiatan diakhiri dengan diskusi ringan dan foto bersama. Setelah kegiatan ini terlaksana, diharapkan siswa-siswa di SDN 1 Donorejo bisa memiliki pemahaman dan kapasitas merespon bencana yang lebih baik serta memiliki pengetahuan mengenai cara merespon bencana secara tanggap. Kegiatan ini juga menjadi wujud nyata kontribusi mahasiswa dalam mendukung terwujudnya masyarakat tangguh bencana.

Gambar 17. Simulasi kejadian bencana
Gambar 18. Foto bersama dengan murid SDN 1 Donorejo

Langkah selanjutnya adalah peningkatan konservasi lahan agar mengurangi terjadinya longsor. Berdasarkan hasil wawancara, Djati Mardiatno menyatakan bahwa terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan. Pertama, yaitu mengusahakan upaya vegetatif pada daerah yang mudah terjadi longsor seperti pada lereng curam yang biasanya tutupan lahannya tidak terlalu rapat. Hal yang perlu diperhatikan adalah konservasi longsor dan erosi yang selama ini disamakan, padahal seharusnya tidak boleh demikian. Misalnya saja pembuatan teras. Pada saat dilakukan pembuatan teras memang dapat mengurangi terjadinya erosi. Tetapi, hal tersebut malah dapat mempercepat terjadinya longsor karena prinsip utama konservasi longsor adalah mengurangi beban lereng. Sementara jika dibuat teras, air yang masuk ke dalam tanah akan lebih banyak yang menambah beban lereng. Sehingga, apabila ingin membuat teras dan mencegah longsor di saat yang bersamaan, maka harus diimbangi dengan sistem drainase yang baik agar air yang masuk ke dalam tidak berlebih. Sehingga, erosi bisa dikurangi dan longsor pun juga tidak mudah terjadi. Selanjutnya yang kedua dengan cara menanam tanaman yang tepat. Karena, menanam tanaman yang tidak tepat untuk konservasi sebenarnya tidak akan mengurangi terjadinya longsor. Tanaman yang terlalu berat akan membebani lereng sehingga terkadang dapat ditemukan tempat-tempat yang tutupan lahannya berupa vegetasi yang sangat rapat, tetapi justru terjadi longsor. Adanya pembebanan lereng yang sangat besar menyebabkan tanah akan bergerak. Sedangkan untuk memilih tanaman yang tepat sebenarnya banyak yang bisa dicari. Tetapi pada dasarnya jika  konservasi lahan hendak dilakukan, lebih baik dilakukan dengan menggunakan vegetasi alami setempat. Vegetasi alami setempat dianggap lebih tepat sebab reboisasi/penghijauan menggunakan tanaman dari tempat lain kadang tidak sesuai. Hal ini kemungkinan dapat membebani lereng atau menyebabkan air tanah yang ada mengalami evapotranspirasi yang tinggi sehingga jumlah kandungan air tanahnya berkurang drastis.

Pengurangan risiko bencana dengan serangkaian upaya mitigasi tidak dapat dibebankan pada satu pihak saja. Tujuan tersebut harus diupayakan bersama oleh pihak-pihak terkait. Oleh karena itu, diperlukan kesinambungan antara pemerintah, masyarakat, dan akademisi untuk meningkatkan kapasitas dan pemahaman warga mengenai kebencanaan guna mewujudkan masyarakat tanggap bencana.

DESA DONOREJO, SIAP UNTUK SELAMAT!

Daftar Pustaka

Goudie, A. (2004). Encyclopedia of Geomorphology: Volume 1. London: Routledge

McCall, G.J.H., Laming, D.J.C., dan Scott, S.C.(1992). Geohazards: Natural and Man-Made. London: Chapman & Hall.