Produktif itu bukankah suatu istilah untuk menggambarkan aktivitas yang bagus? 

Namun, mungkinkah jika produktivitas itu berubah jadi “racun” yang malah merugikan diri sendiri? 

Katanya kalau produktif belum sampai tipes, berarti belum sepenuhnya  dedikasi?


Salah satu hal yang terlihat jelas dialami oleh mahasiswa saat ini adalah perasaan kurangnya pencapaian saat hanya berfokus pada aspek akademik. Namun, sepertinya banyak yang salah paham akan arti kerja keras dan produktivitas. Banyak mahasiswa mengartikan produktivitas sebagai perjuangan dalam mengorbankan diri, termasuk mengorbankan kesehatan fisik dan mental dengan menghalalkan segala cara tanpa peduli dengan diri sendiri. Beberapa orang suka merasa bersalah dan cemas     apabila tidak mencapai target produktivitas dirinya. Bahkan, saat waktu bersantai saja masih merasa "harus ini itu" akan banyak hal, membuat diri tidak tenang dan tak mampu beristirahat. 

Menurut sebuah studi oleh Deloitte, 77% orang pernah mengalami burnout dalam melakukan pekerjaan mereka dan 42% telah meninggalkan pekerjaan mereka karena merasa kelelahan.  Hal ini adalah hasil dari tekanan mental dan emosional terhadap diri karena bekerja berjam-jam dan berusaha untuk memenuhi ekspektasi tidak realistis yang mereka targetkan sendiri. Tentu saja hal tersebut sebenarnya bukanlah sesuatu yang baik.

Jadi, yang perlu dipikirkan sekarang adalah perlukah sebenarnya melakukan sesuatu secara “produktif” untuk bisa mencapai tujuan dan menunjukkan bahwa kita sangat berdedikasi?

First thing first, let’s talk about toxic productivity

Toxic productivity muncul akibat kebiasaan-kebiasaan seseorang yang terlalu menjunjung tinggi konsep produktivitas. Kalian pasti sering banget merasa amazed sama temen-temen atau kating yang punya berbagai aktivitas akademik maupun non akademik. Contohnya saja, orang-orang yang selalu ada di berbagai kepanitiaan event dan ikut lomba sana-sini, tetapi masih bisa aktif di kelas! Selain itu, kita juga sering memuji seseorang yang kuat menahan pahitnya kopi demi pantang tidur sebelum tugas rampung. Nah, dengan adanya budaya yang tidak sengaja tercipta ini, sadar tidak sadar kita akan memiliki keinginan untuk menjadi salah satu dari orang-orang tersebut.

Lantas, apa saja yang menjadi pertanda bahwa kita sedang mengalami toxic productivity?

  1. Bekerja berlebihan hingga membahayakan kesehatan dan mengganggu hubungan sosial dengan orang lain. Nah, karena hal ini teman-teman kita akan sering mengeluh kalau kita terlalu sibuk. Selain itu, kita juga mulai terkena penyakit akibat sering menunda-nunda kebutuhan dasar, contohnya maag.

  2. Ekspektasi yang tidak realistis terhadap diri sendiri.

  3. Merasa kesulitan untuk beristirahat. Hal ini ditandai dengan munculnya rasa bersalah apabila beristirahat setelah seharian penuh bekerja atau berkegiatan.

Seringkali, toxic productivity membuat kita tidak mampu untuk beradaptasi dengan perubahan yang ada karena kita telah menetapkan sebuah standar yang tinggi untuk mencapai tujuan kita. Pada masa pandemi seperti sekarang ini, tentu saja hal tersebut dapat menjadi berbahaya. Bagi mahasiswa, ketidakmampuan untuk beradaptasi akan sistem perkuliahan yang baru akan memicu sebuah stressful condition dan dapat membahayakan status mental. 

Ketika kalian terjebak dalam siklus toxic productivity, rasanya setiap menit perlu memiliki tujuan. Kalian tidak hanya ingin berjalan santai saja di luar, tetapi kalian ingin berlari sepuluh mil dan berlatih untuk maraton. Kalian tidak hanya ingin menikmati buku fantasi dan romantis, tetapi kalian ingin membaca buku pengembangan diri atau mencapai target membaca 50 novel dalam setahun. Alih-alih memberi celah dan masuk ke dalam toxic productivity, kalian bisa mencoba untuk menyisihkan waktu untuk tidak melakukan apa-apa dan sengaja tidak produktif. Ini bukan saatnya bagi kalian untuk memperbaiki diri dalam beberapa cara, ini hanya saatnya. Duduk dan mendengarkan musik, bermeditasi, berjalan-jalan, atau menonton film atau acara TV. Beri diri kalian waktu ketika kalian sedang tidak secara aktif berusaha mencapai apa pun.

Well, being productive is not wrong. Namun, perlu diketahui bahwa produktivitas itu akan menjadi sesuatu yang baik apabila kita tahu batasan bagi diri kita. Hal ini akan menjadi berbahaya apabila produktivitas itu malah mengesampingkan kebutuhan-kebutuhan dasar seperti ibadah, makan, minum, bersosialisasi, dan lain-lain. Hayo, siapa yang suka trabas shalat gara-gara nugas? /akuuuu/. Nah, produktivitas itu juga akan menjadi toxic apabila muncul perasaan bersalah ketika kita rehat sejenak dari kesibukan atau sekedar melakukan hobi yang kita anggap sebagai sesuatu yang tidak produktif. 

Jadi, buat kalian yang lagi di fase-fase FOMO karena temen-temen sebaya yang kalian lihat sangat produktif sehingga kalian merasa perlu untuk melakukan sesuatu sampai mengorbankan fisik dan mental kalian, please, take a deep breath and talk to yourself that take a rest is not a mistake, rest for a while is not a crime! Kalo capek dan ingin istirahat itu sangat normal, kok, validasi hal itu, gapapa banget buat istirahat sebentar. Kita itu manusia dan bukan robot yang bisa 24 jam non-stop kerja. Istirahat itu manusiawi. Tidak perlu terlalu push diri sendiri buat melakukan ini dan itu. Stop toxic productivity! "Duh orang-orang belajar bisa sampe 12 jam, aku harus bisa hingga 24 jam". Jangan, ya! Belajar itu tentang menikmati prosesnya. Sekecil apa pun, it's still process and progress. Jangan lupa istirahat dan bersenang-senang. Oke, mantap?



Referensi

https://cimsa.or.id/news/index/productivity-know-your-limit-before-it-turns-toxic

https://www.createcultivate.com/blog/what-is-toxic-productivity/

https://www.forbes.com/sites/forbesbusinesscouncil/2022/04/29/the-hustle-culture-has-no-future-enter-the-break-


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.