REDD Dan Kearifan Lokal
Perubahan iklim menjadi topik bahasan yang sangat hangat di dunia global. Fenomena ini seakan menjadi perbincangan yang tidak ada habisnya. Sejak tahun 2010 program REDD (Reducing Emisions From Deforestation and Forest Degradation) atau dapat dipahami sebagai usaha pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan menjadi usulan yang sangat menarik perhatian negara-negara di dunia. REDD merupakan sebuah mekanisme untuk mengurangi emisi GRK (Gas Rumah Kaca) dengan cara memberi kompensasi bagi pihak yang melakukan pencegahan degradasi hutan dan deforestasi. REDD merupakan sebagian dari portofolio mitigasi iklim untuk diimplementasikan di bawah Protokol Kyoto. Dewasa ini emisi tata guna lahan menyumbang sekitar 6 GT (Gigaton) dari total emisi dunia dan hampir semuanya disebabkan oleh pengrusakan hutan dan deforestasi. Deforestasi di Indonesia menyumbang sekitar 1/3 total emisi dari deforestasi dan pengrusakan hutan atau dapat dikatakan sekitar 7% total emisi dunia. Berdasarkan laporan PEACE tahun 2007 apabila emisi deforestasi masuk ke dalam emisi total maka Indonesia menduduki peringkat ke-3 penghasil emisi terbesar setelah Amerika Serikat dan Tiongkok.
Gambar 1.1 Peta Dunia REDD (Hijau : Pendukung program REDD, Merah : Program REDD yang akan dilaksanakan)
Konsep REDD ini mencuat setelah diplomat Papua Nugini mengusulkan konsep dalam Seminar of Government Experts. Momentum ini semakin naik kepermukaan ketika COP13 (Conference of Parties)/CMP3 (Meeting of the Parties) di Bali tahun 2007 saat Indonesia menjadi tuan rumah sekaligus menjadi Ketua COP tersebut. Faktor yang menyebabkan REDD mendapat banyak perhatian setelah avoided deforestation kehilangan momentum diantaranya REDD merupakan inisiatif skala negara yang diharapkan dapat menjawab permasalahan leakage (permasalahan di mana pengurangan deforestasi di sebuah wilayah karena proyek avoided deforestation akan berujung meningkatnya deforestasi di wilayah lain. Padahal deforestasi total tidak banyak berkurang).
REDD dalam perwujudannya memiliki beberapa tantangan diantaranya:
- Teknologi perhitungan karbon
Pemberian nilai bagi lahan hutan yang berpotensi menyimpan emisi karbon tentu memerlukan teknologi yang mampu penghitung secara tepat banyak jumlah karbon yang tersimpan. Pemakaian citra satelit modern dapat diaplikasikan, akan tetapi belum tentu semua Negara dapat menjangkaunya.
- Pembayaran
Target pembayaran belum ditentukan secara jelas. Apakah pemerintah nasional atau masyarakat lokal sekitar hutan atau bahkan perusahaan kayu
- Akuntabilitas
Jaminan apa apabila pembayaran untuk penjagaan hutan guna menyimpan karbon telah dilakukan, namun pengrusakan tetap terjadi.
- Pendanaan
Efisienkah pendanaan negara maju yang mengeluarkan emisi besar kepada negara yang mengurangi emisi melalui penjagaan pengelolaan hutan? Mengingat tidak semua keadaan negara cocok dengan program REDD.
Penerapan REDD di Indonesia bermula sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Surat Perjanjian Niat (Letter of Intent) pada 26 Mei 2010. Implementasi sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden nomor 19 tahun 2010. Skema REDD memiliki manfaat kepada masyarkat dan perbaikan lingkungan. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan hak masyarakat lokal dalam memanfaatkan hutan, mengingat tidak sedikit masyarakat yang memiliki mata pencaharian dari hutan. Hak masyarakat lokal perlu diseimbangkan dengan tujuan masyarakat internasional dalam mengatasi perubahan iklim. Langkah yang dapat dijadikan pertimbangan oleh pemerintah Indonesia adalah memasukkan kearifan lokal dalam menjalankan program REDD, seperti halnya Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) dan Kalimantan Tengah.
Pemprov Sumbar mengatakan bahwa potensi hutan Sumatera sekitar 980.000 hektare yang dapat dikembangkan menjadi hutan nagari. Pengelolaan sumberdaya berbasis nagari merupakan upaya memposisikan masyarakat sebagai pemegang dalam pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan dan berkeadilan. Kearifan lokal dapat menjadi pengikat pengelolaan kawasan hutan dengan skema REDD tanpa mengkesampingkan peran masyarakat lokal. Peranan adat di Sumbar tergolong cukup efektif sebagai salah satu usaha perwujudan REDD. Hal ini dapat dijadikan jalan untuk mengaplikasikan REDD di sembilan provinsi lainnya yang menjadi prioritas pemerintah.
Kearifan lokal menjadi keistimewaan tersendiri bagi Negara Indonesia untuk mengatasi perubahan iklim. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan usaha tersendiri dan kerjasama dari berbagai sektor untuk memahamkan masyarakat agar turut serta dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Kearifan lokal yang telah ada di setiap daerah dapat dikombinasikan dengan teknologi saat ini ataupun memadukannya dengan program internasional seperti REDD. REDD akan berjalan dengan baik apabila ada integrasi yang baik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah terkait pengendalian, pemantauan, dan evaluasi.
Penulis:
Najmah Munawaroh
(Mahasiswa Geografi Lingkungan 2015)
Sumber :
2 Comments
Arick · October 30, 2017 at 5:21 pm
Mantap djiwa terus berkembang utk EGSA ..
egsaugm · October 20, 2021 at 10:41 pm
Aamiinn.. Terima kasih kak