Tragedi Kebakaran Hutan Los Angeles: Tantangan di Tengah Perubahan Iklim

Oleh :

Aida Nur Afifah

Sabrina Nurul Fadhila

 

Sumber: Platform X, 2025

Di awal tahun 2025 ini, terdapat suatu peristiwa yang cukup menggemparkan. Kebakaran hutan yang terjadi di Los Angeles (LA), California, Amerika Serikat menjadi sorotan media internasional. Kebakaran tersebut terjadi pada Selasa (7/1/2025) dan meluas pada Kamis (9/1/2025) waktu Amerika Serikat. Area yang terdampak pada bencana tersebut mencapai 17.234 hektare. Berdasarkan laporan otoritas setempat, terdapat lima korban jiwa. Selain menyebabkan korban jiwa, peristiwa tersebut juga mengakibatkan kerugian secara perekonomian dan kerugian bangunan. Dikutip dari Tirto.id, kebakaran hutan yang terjadi di Los Angeles merupakan masalah yang terus-menerus mengancam wilayah tersebut, terutama di musim panas dan gugur. Kebakaran ini bukan peristiwa yang pertama kali terjadi. Kebakaran yang cukup parah sebelumnya pernah terjadi pada tahun 1960 di Angeles National Forest (ANF).

 Peristiwa kebakaran hutan yang terjadi di Los Angeles tidak hanya disebabkan oleh faktor alam, tetapi juga dipengaruhi oleh adanya aktivitas manusia. Lahan yang cukup luas disertai dengan jenis iklim kering dan angin kencang mengakibatkan wilayah Los Angeles rentan terhadap kebakaran, terutama di musim panas. Dikutip melalui Sidonews.com, Joe Ten Eyck selaku koordinator program kebakaran hutan/antarmuka perkotaan untuk Asosiasi Pemadam Kebakaran Internasional mengatakan bahwa faktor cuaca memiliki peran yang sangat penting dalam kebakaran hutan tersebut.

Kebakaran hutan yang terjadi disebabkan oleh kekeringan berkepanjangan dengan ditandai oleh curah hujan yang tercatat kurang dari 10% dari curah hujan rata-rata. Kekeringan ini mengakibatkan tanaman yang ada di wilayah tersebut kering, sehingga cenderung mudah terbakar. Selanjutnya, faktor Angin Santa Ana, angin ini merupakan fenomena atmosfer yang terjadi pada musim gugur di California. Angin ini membawa udara kering sehingga dapat menurunkan kelembaban yang kemudian pada akhirnya mempercepat penyebaran api.  Faktor terakhir yang memperburuk kondisi penanganan adalah kurangnya air dan sumberdaya pendukung. Secara geografis topografi Los Angeles merupakan wilayah berbukit yang menyebabkan api lebih cepat menyebar. Menurut BBC News, topografi lereng curam dapat menyebabkan api bergerak lebih cepat ke area yang lebih tinggi, meningkatkan risiko kerusakan yang lebih luas, dan proses evakuasi menjadi terhambat.

Sumber: Platform X, 2025

Peristiwa yang menimpa Los Angeles tersebut mengakibatkan kerugian yang sangat besar baik dari segi materi maupun dampak sosial dan lingkungan. Kebakaran hutan yang terus menyebar ke pemukiman mengakibatkan kerusakan properti, seperti rumah, bangunan, dan infrastruktur umum. Dikutip melalui Kompas.com, terdapat sebanyak lebih dari 37.000 jiwa terpaksa mengungsi. Kebakaran yang meluas juga mengganggu layanan-layanan umum di wilayah tersebut, seperti terputusnya jaringan listrik hingga saluran air. Selain itu, terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang menonjol adalah terjadinya kabut asap yang mengganggu kesehatan dan sistem transportasi darat, laut dan udara (Cahyono dkk, 2015). Fenomena kebakaran tersebut juga mengakibatkan kerugian dalam lingkungan. Kerusakan ekosistem sebagai habitat flora dan fauna dapat berdampak jangka panjang bagi keseimbangan dan keanekaragaman hayati. Dari perspektif ekologi, berkurangnya luas hutan dan kerusakan lahan akibat kebakaran menimbulkan ancaman terhadap pemulihan ekosistem serta ketidakpastian dalam proses tersebut. Selain itu, kejadian ini juga menghilangkan potensi manfaat dari hasil hutan kayu maupun non-kayu di masa mendatang, serta nilai keanekaragaman hayati yang saat ini belum dimanfaatkan sepenuhnya (Yusuf, dkk 2019).

Sumber: Platform X, 2025

Upaya mitigasi kebakaran hutan dan pengelolaan lingkungan memerlukan pendekatan terpadu yang melibatkan pencegahan, pengelolaan risiko, dan rehabilitasi. Pencegahan dapat paling dini dapat dilakukan melalui edukasi masyarakat untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya kebakaran serta pembatasan aktivitas berisiko di area rawan kebakaran, terutama selama musim kemarau. Teknologi seperti satelit, drone, dan sensor real-time dapat dimanfaatkan untuk memantau kondisi vegetasi dan mendeteksi titik api lebih awal. Selain itu, pengelolaan vegetasi perlu dilakukan dengan membersihkan semak kering dan menciptakan zona penyangga berupa lahan kosong atau tanaman yang tahan api. Penguatan infrastruktur juga menjadi kunci, seperti penyediaan jalur evakuasi, sumber air yang memadai, dan peningkatan kapasitas pemadam kebakaran.

Dalam jangka panjang, pengelolaan lingkungan dapat dilakukan dengan melestarikan ekosistem hutan, rehabilitasi lahan yang rusak, dan penghijauan menggunakan tanaman tahan kering. Adaptasi terhadap perubahan iklim juga penting, misalnya melalui konservasi tanah dan air untuk meningkatkan retensi air tanah di wilayah rawan kebakaran. Kebijakan lingkungan yang ketat dan insentif bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam konservasi hutan menjadi landasan penting dalam mencegah kebakaran hutan secara berkelanjutan. Semua upaya ini harus didukung oleh penelitian dan inovasi untuk menemukan solusi yang lebih efektif dalam menangani kebakaran hutan sekaligus menjaga keseimbangan lingkungan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Cahyono, S. A., Warsito, S. P., Andayani, W., & Darwanto, D. H. (2015). Faktor-faktor yang mempengaruhi kebakaran hutan di Indonesia dan implikasi kebijakannya. Jurnal Sylva Lestari, 3(1), 103-112.

Yusuf, A., Hapsoh, H., Siregar, S. H., & Nurrochmat, D. R. (2019). Analisis Kebakaran Hutan Dan Lahan Di Provinsi Riau. Dinamika Lingkungan Indonesia, 6(2), 67-84.

https://www.bbc.com/indonesia/articles/cm29my3n147o?utm_source=chatgpt.com