“Bisingnya Yogyakarta: Menelusuri Jejak Polusi Suara di Tengah Hiruk-Pikuk Perkotaan”

Dibuat Oleh:

Aida Nur Afifah

Astri Sholikhah

Sumber : https://www.detik.com/jateng/jogja/d-6489733/jalan-kaliurang-simpang-mm-ugm-macet-lur

 

Yogyakarta merupakan salah satu wilayah berkembang sebagai kota yang menggabungkan sektor pendidikan, pariwisata, dan industri kreatif. Sebagai wilayah yang unggul di beberapa sektor, Yogyakarta mengalami tantangan serius terkait pencemaran kebisingan yang semakin meningkat. Kebisingan dapat diartikan sebagai suara yang berlebih yang dapat berpotensi mengganggu pendengaran (Muslim dkk, 2018). Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan, kebisingan diartikan sebagai suara yang tidak diinginkan yang dihasilkan oleh suatu kegiatan atau usaha pada intensitas dan durasi tertentu, yang dapat mengganggu kesehatan manusia serta mengurangi kenyamanan. Menurut World Health Organization, tingkat polusi suara di Yogyakarta telah melampaui ambang batas yang direkomendasikan yaitu 55 dB pada siang hari dan 45 dB pada malam hari di berbagai titik strategis kota.

Suara yang mencapai tingkat berlebihan dan tidak diinginkan dapat disebut sebagai kebisingan. Menurut American Academy of Ophthalmology and Otolaryngology (dalam Arlan, 2011), suara dengan intensitas sekitar 50-55 dB(A) bisa dianggap sebagai kebisingan yang dapat mengganggu kualitas tidur dan menimbulkan kelelahan saat bangun. Sementara itu, suara dengan intensitas 90 dB(A) dapat memengaruhi sistem saraf otonom. Kebisingan dengan intensitas hingga 140 dB(A) dapat menyebabkan getaran di dalam kepala, nyeri parah pada telinga, gangguan keseimbangan serta mual (Disantara, 2024). Secara umum, dampak kebisingan terhadap kesehatan manusia dapat dibagi menjadi dampak auditori dan non-auditori. Dampak auditori terjadi ketika paparan kebisingan dalam jangka panjang merusak sel-sel rambut atau organ Corti, yang pada akhirnya menyebabkan gangguan pendengaran, terutama pada frekuensi sekitar 4 kHz. Sementara itu, dampak non-auditori terjadi karena kebisingan mempengaruhi organ selain pendengaran, menyebabkan fungsi organ menjadi tidak normal dengan menstimulasi sistem saraf otonom (ANS) dan korteks tulang belakang. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan detak jantung, tekanan darah tinggi, kontraksi otot yang menyebabkan kelelahan, dan penurunan sensitivitas mata terhadap cahaya (Slota, 2012).

Tingkat kebisingan di suatu wilayah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah transportasi, industri, kontruksi, dan rekreasi. Sektor transportasi menjadi kontributor utama kebisingan di Yogyakarta, terutama di kawasan-kawasan padat seperti Malioboro, Jalan Solo, dan Jalan Magelang. Menurut BPS (2024), Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di Yogyakarta mencapai 4% per tahun, ditambah dengan masih banyaknya kendaraan yang tidak memenuhi standar kebisingan, menghasilkan tingkat kebisingan rata-rata mencapai 75-80 dB pada jam-jam sibuk. Kemacetan yang terjadi di berbagai ruas jalan utama semakin memperburuk situasi ini, terutama ketika pengendara cenderung menggunakan klakson secara berlebihan.

Yogyakarta sebagai kota pendidikan memiliki karakteristik tersendiri dalam konteks pencemaran kebisingan. Berdasarkan data PDDikti (2023), terdapat 74 perguruan tinggi aktif yang tersebar di berbagai wilayah Yogyakarta, dimana aktivitas pendidikan ini berkontribusi terhadap dinamika kebisingan kota. Penelitian Djalante dkk. (2020) menunjukkan bahwa kawasan pendidikan di Indonesia rata-rata mencatatkan tingkat kebisingan mencapai 63-71 dB pada jam-jam aktif perkuliahan, melampaui standar WHO untuk area pendidikan yaitu 55 dB.

Perkembangan kawasan pendidikan yang telah mengalami transformasi cenderung berkembang menjadi pusat aktivitas komersial yang memicu peningkatan tingkat kebisingan. Kebisingan di area pendidikan seperti Bulaksumur, Condongcatur, Babarsari, Seturan, Karangmalang, dan Mrican menyumbang sumber kebisingan terutama berasal dari lalu lalang kendaraan mahasiswa, aktivitas organisasi kemahasiswaan, dan berbagai kegiatan di sekitar kampus seperti warung makan, fotokopi, dan tempat kos. Fenomena ini menciptakan lingkungan belajar yang kurang kondusif, terutama bagi mahasiswa yang tinggal di sekitar kampus.

Sumber: https://www.detik.com/jogja/berita/d-6970675/ribuan-warga-padati-wayang-jogja-night-carnival-di-hut-ke-267-kota-jogja

Sektor pariwisata dan budaya yang menjadi salah satu sektor unggulan Yogyakarta turut berkontribusi terhadap peningkatan kebisingan. Kawasan wisata seperti Malioboro, Prawirotaman, dan Sosrowijayan mengalami peningkatan tingkat kebisingan signifikan, terutama pada musim liburan dan akhir pekan. Aktivitas wisatawan, termasuk music live di cafe-cafe, keramaian pusat perbelanjaan, dan lalu lalang kendaraan wisata.

Pejabat Wali Kota Yogyakarta, Sugeng Purwanto mengatakan bahwa Kota Yogyakarta saat ini terus mengambangkan pariwisata berbasis budaya. Rebranding Kota Yogyakarta sebagai City of Festival seperti tertuang dalam RPJPD Kota Yogyakarta Tahun 2025-2045 berencana merealisasikan 184 event berskala nasional dan internasional. Hal ini juga memicu adanya peningkatan lama tinggal wisatawan atau Length of Stay (LOS) yaitu berada di angka 1,753 hari. Suara yang bersumber dari festival ditambah mobilitas yang semakin masif tentu meningkatkan tingkat kebisingan di Kota Yogyakarta.

Sektor industri di Yogyakarta, meskipun tidak sebesar kota-kota industri lainnya, tetap memberikan kontribusi terhadap pencemaran kebisingan. Kawasan industri di daerah Piyungan dan Bantul menunjukkan tingkat kebisingan yang relatif tinggi, terutama dari aktivitas pabrik dan lalu lintas kendaraan berat. Industri kecil dan menengah yang tersebar di berbagai wilayah kota juga menambah beban kebisingan lingkungan sekitar.

Aktivitas konstruksi yang masif akibat pembangunan infrastruktur dan properti di Yogyakarta menjadi sumber kebisingan yang signifikan. Pembangunan hotel, apartemen, dan pusat perbelanjaan, terutama di kawasan Seturan, Babarsari, dan sepanjang Ring Road. Kawasan rekreasi dan hiburan di Yogyakarta juga berkontribusi terhadap pencemaran kebisingan. Tempat-tempat seperti mall, bioskop, arena bermain, dan tempat karaoke, terutama yang berlokasi di pusat kota dan kawasan komersial, menghasilkan tingkat kebisingan antara 65-75 dB. Kegiatan-kegiatan outdoor seperti konser musik dan festival budaya, meskipun bersifat temporer, dapat menghasilkan tingkat kebisingan yang jauh lebih tinggi, mencapai 90-100 dB (Anandyaputri, 2017).

Pemerintah Kota Yogyakarta telah melakukan berbagai upaya untuk mengendalikan pencemaran kebisingan, termasuk pemberlakuan zona bebas kendaraan bermotor di beberapa area, pengetatan pengawasan standar kebisingan kendaraan, dan penanaman pohon sebagai barrier alami. Pengurangan  kebisingan pada skala individu dapat dilakukan dengan  memproteksi  telinga. Tutup telinga bisa menurunkan kebisingan antara 25-40 dB, kemampuan   sumbat   telinga   lebih   kecil,  tergantung   bahannya.   Sumbat   karet   dapat  menurunkan kebisingan 18-25 dB, sumbat cotton woll yang hanya menurunkan 8 dB (Handoko,2010).

Penggunaan  unsur  vegetasi  sebagai  penghalang  bising  lingkungan seperti semak-semak  dan deretan  pohon-pohon  pada  dasarnya  tidak  mengurangi  bising  pada  frekuensi  rendah  dan mereduksi frekuensi-frekuensi tinggi hanya sekitar 1 sampai 2 dB (Handoko,2010). Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan mengingat pertumbuhan kota yang terus berlanjut dan meningkatnya aktivitas ekonomi.

Hal yang dapat dioptimalisasi mencakup peningkatan pengawasan dan penegakan regulasi terkait kebisingan, pengembangan transportasi publik yang lebih baik, perencanaan tata kota yang mempertimbangkan aspek kebisingan, serta edukasi masyarakat tentang pentingnya mengendalikan kebisingan untuk menjaga kualitas lingkungan dan kesehatan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Anandyaputri, Irene. 2017. Perlukah memakai sumbat telinga di konser musik?. https://hellosehat.com/hidup-sehat/tips-sehat/memakai-earplug-di-konsermusik/

Arlan, Mirani. (2011). Pengaruh Volume Kendaraan Terhadap Kebisingan dan Pemetaan Kebisingan Menggunakan Perangkat Lunak Arcview Di Kelurahan Pondok Cina, Depok, Akibat Kegiatan Transportasi Di Jalan Margonda Raya. Program Studi Teknik. Depok :Universitas Indonesia

Badan Pusat Statistik. (2024). Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kendaraan di D.I. Yogyakarta. Yogyakarta: Badan Pusat Statistik

Christiyanto. (2024, Oktober 30). Yogyakarta: Naikkan lama tinggal wisatawan dengan rebranding Yogya City of Festival. VIVA.co.id. Diakses dari https://wisata.viva.co.id/wisata/13288-yogyakarta-naikkan-lama-tinggal-wisatawan-dengan-rebranding-yogya-city-of-festival

Disantara, S. R. (2024). Pemetaan Kebisingan Lingkungan di Sekitar Terminal Jombor dan Jalan Magelang, Yogyakarta (Doctoral dissertation, Universitas Islam Indonesia).

Djalante, S., Nurjanah, R., & Saleh, C. (2020). Analysis of noise pollution in higher education areas: A case study in Indonesia. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 419(1), 012165. https://doi.org/10.1088/1755-1315/419/1/012165

Handoko, J. P. S. (2010). Pengendalian kebisingan pada fasilitas pendidikan studi kasus gedung sekolah pascasarjana UGM Yogyakarta. Jurnal Sains & Teknologi Lingkungan, 2(1), 32-42.

Muslim, E., Syaifullah, D. H., & Toyyibah, V. M. (2018). Analisis Pengaruh Polusi Udara, Kebisingan, dan Getaran di Pintu Tol Lingkar Luar Jakarta terhadap Kenyamanan serta Performa Kognitif Operator. Jurnal Ergonomi dan K3, 2(2).

PDDikti. (2023). Statistik Perguruan Tinggi DIY. Diakses dari https://pddikti.kemdikbud.go.id/pt

Slota, G. P. (2012). Effects of seated whole-body vibration on spinal stability control. United States: ProQuest.