Grobogan Kembali Tergenang, Apa Saja Penyebab dan Dampaknya?
Dibuat Oleh:
Randika Satria Putra Dinata dan Aida Nur Afifah
Seperti yang kita tahu, banjir merupakan bencana alam yang sering terjadi di Indonesia. Setiap tahunnya pasti pernah terjadi banjir di beberapa wilayah Indonesia terutama pada saat musim penghujan. Salah satu penyebab utamanya adalah curah hujan yang tinggi. Selain itu, bentuk fisiografi suatu daerah juga menjadi faktor terjadinya banjir. Salah satu wilayah yang sering terjadi banjir akibat bentuk fisiografi ialah Kabupaten Grobogan. Kabupaten grobogan menjadi salah satu daerah di Indonesia yang sering kali terjadi bencana alam banjir, bahkan di setiap tahunnya hampir terjadi banjir.
Secara fisiografi, Kabupaten Grobogan terletak di zona utara jawa dengan morfologi berupa dataran rendah dan perbukitan dengan ketinggian antara 20 hingga 280 di atas permukaan laut. Rendahnya fisiografi Kabupaten Grobogan dan letaknya yang berada di pesisir utara jawa menjadikan wilayah tersebut rentan bencana banjir. Selain itu, Kabupaten Grobogan juga dilintasi oleh dua sungai besar yang dapat meningkatkan risiko terjadinya banjir saat curah hujan tinggi, seperti sungai Lusi dan juga sungai Samin. Beberapa anak sungai seperti sungai serang, sungai klawing, sungai tuntang, sungai sana, dan lain-lain juga meningkatkan kejadian banjir tersebut.
Penentuan wilayah rentan bencana pada umumnya didasarkan pada pertimbangan wilayah yang mendapatkan dampak langsung dari bencana. Ada beberapa kriteria yang digunakan untuk menetapkan daerah atau masyarakat yang berada pada posisi rentan bencana. Pertama, wilayah yang secara geografis berdekatan rawan bencana sehingga memiliki risiko tinggi akan terkena dampak bencana. Kedua, bencana terjadi secara mendadak di wilayah yang tidak mampu disiapkan oleh masyarakat sebelumnya, menyulitkan pelaksanaan langkah-langkah pencegahan dan persiapan sebelum kejadian bencana. Ketiga, wilayah dengan risiko tinggi memiliki potensi untuk dilakukan tindakan pencegahan, mitigasi, dan penanggulangan terhadap dampak yang dihasilkannya (Hasan & Budyastomo, 2021).
Contoh kasus banjir di Kabupaten Grobogan terjadi belakangan ini. Banjir bandang kembali melanda Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah pada 06 Februari 2024. Hujan lebat yang mengguyur wilayah ini menyebabkan banjir di 32 desa di 12 kecamatan di Kabupaten Grobogan. Kecamatan yang terdampak banjir tersebut meliputi, Godong, Tawangharjo, Geyer, dan Tegowanu, Penawangan, Purwodadi, Toroh, Karangrayung, Kedungjati, Tanggungharjo, Grobogan, dan Gubug. Banjir besar kali ini dipicu oleh intensitas curah hujan tinggi disertai air kiriman dari hulu. Akibatnya, Sungai Lusi, Sungai Serang, dan Sungai Tuntang tidak mampu menampung debit air hingga meluap sampai pemukiman warga. Selain itu, peningkatan volume banjir juga dipicu oleh jebolnya tanggul tuntang yang merupakan rangkaian beberapa kabupaten, mulai dari Rawa Pening, kemudian sampai ke Grobogan.
Banjir Grobogan, 2024
Sumber: Solopos.com
Banjir telah menggenang setinggi 10-100 cm menyebabkan dampak yang sangat serius di Grobogan, dengan 2.662 rumah terendam, 56 hektar lahan pertanian tergenang air, 6 sekolah terkena dampak, serta kerusakan pada infrastruktur seperti talud, rabat beton, dan pemadasan. Dampaknya sangat tragis, menyebabkan ribuan penduduk kehilangan harta benda dan bahkan nyaris nyawa mereka. Banyak yang terpaksa mengungsi dan tinggal dalam kondisi yang sangat memprihatinkan di tempat pengungsian, terutama anak-anak yang harus berbagi ruang darurat yang sempit tanpa fasilitas yang memadai. Masalah kesehatan juga menjadi perhatian serius karena kualitas air dan udara yang buruk, sementara psikologis penduduk terganggu karena trauma yang mereka alami. Selain itu, banjir juga mengancam panen di ribuan hektar lahan pertanian padi, jagung, dan bawang merah di banyak desa, yang dapat berdampak serius pada ekonomi lokal. Menurut Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Jateng, setidaknya 4.309 hektar lahan pertanian terdampak banjir di Grobogan.
Area sawah terendam banjir
Sumber: Liputan6.com
Lahan pertanian yang terendam luapan air tersebut berpotensi mengalami gagal panen karena tanaman tenggelam oleh air dengan waktu yang cukup lama. Hal ini dapat mengakibatkan hilangnya pendapatan bagi petani dan berpotensi meningkatkan harga pasar bagi produk pertanian yang terkena dampak. Dampak ekonomi dari gagalnya panen pada suatu wilayah tidak hanya menyebabkan ketidakstabilan pasokan dan harga pada wilayah terdampak melainkan juga pada wilayah-wilayah di sekitarnya. Hal tersebut diakibatkan karena adanya keterbatasan akses distribusi antar wilayah. Selain itu, infrastruktur pertanian seperti saluran irigasi, jalan pertanian, dan bangunan-bangunan lainnya yang mendukung kegiatan pertanian rusak terbawa aliran banjir yang deras. Kerusakan ini memerlukan biaya tambahan untuk perbaikan dan dapat mengganggu distribusi hasil pertanian.
Cara yang dapat dilakukan untuk menanggulangi bencana banjir dengan melakukan upaya mitigasi bencana banjir sehingga dampak negatif berupa kerugian dapat dikurangi. Mitigasi bencana dalam UU No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, diartikan sebagai “Serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana” (Mardikaningsih et al., 2017). Pemerintah memiliki tanggung jawab dalam menangani bencana, termasuk dalam rekonstruksi dan rehabilitasi pasca bencana.
Pemulihan dari dampak bencana dan alokasi anggaran yang memadai dalam anggaran negara untuk penanggulangan bencana harus memastikan perlindungan bagi korban bencana (Suryadi, 2020). Keberadaan pemerintah mencerminkan komitmen bersama antara pemerintah dan rakyatnya, di mana pemerintah dianggap penting untuk melindungi, memberdayakan, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat (Awalia et al., 2015). Pemerintah Daerah harus bekerja ekstra dan melibatkan berbagai elemen masyarakat. Pengerukan drainase, normalisasi sungai, serta peningkatan kesiapsiagaan menjadi keniscayaan.
Tidak hanya infrastruktur, peningkatan kapasitas dan kompetensi sumber daya manusia juga mutlak diperlukan. Dengan begitu, penanganan bencana bisa lebih cepat dan tepat sasaran. Koordinasi lintas sektoral pun harus diperkuat agar bantuan maupun evakuasi berjalan lancar. Sistem peringatan dini yang handal wajib dibangun agar warga bisa mengantisipasi lebih awal sebelum bencana melanda.
DAFTAR PUSTAKA
Awalia, V. R., Mappamiring, & Aksa, A. N. (2015). Peran Pemerintah Dalam Menanggulangi Resiko Bencana Banjir Di Kabupaten Kolaka Utara. Otoritas : Jurnal Ilmu Pemerintahan, 5(2), 202–213. https://doi.org/10.26618/ojip.v5i2.124
Hasan, S., & Budyastomo, A. W. (2021). Pemberdayaan Penanggulangan Banjir Desa Kemiri Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan. Batoboh: Jurnal Pengabdian Pada Masyarakat, 6(2), 86-99.
Mardikaningsih, S. M., Muryani, C., & Nugraha, S. (2017). Studi Kerentanan dan Arahan Mitigasi Bencana Banjir di Kecamatan Puring Kabupaten Kebumen Tahun 2016. Jurnal Geo Eco, 3(2), 157–163.
Suryadi, N. (2020). Peran Pemerintah Dalam Menanggulangi Banjir Di Kota Samarinda. eJournal Ilmu Pemerintahan, 2020(2), 425–436.