Diskusi Eksternal PIG EGSA Bersama ELS FH UGM

“Sumbu Lingkungan atau Filosofi

Keistimewaan Isu Lingkungan di Tanah Jogja”

Diskusi Eksternal PIG EGSA Bersama ELS FH UGM

Diskusi Eksternal EGSA bersama dengan ELS (Environmental Law Society) FH UGM yang bertajuk “Sumbu Lingkungan atau Filosofi: Keistimewaan Isu Lingkungan di Tanah Jogja” telah dilaksanakan pada Jumat, 15 Desember 2023 di Ruang D110 Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Diskusi ini diselenggarakan oleh Divisi Pengkajian Isu Global (PIG) EGSA yang bekerja sama dengan ELS FH UGM. Diskusi yang terbuka untuk umum ini dihadiri pula oleh anggota EGSA lain yang antusias. 

Dalam aspek geografi, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki kekhususan yang membuatnya spesial dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Keistimewaan tersebut berdasar pada sistem geosfer yang tersusun atas aspek fisik lingkungan dan sosial budaya. Berdasarkan Santosa (2016), Yogyakarta memiliki 9 dari 10 klasifikasi bentanglahan (landscape) berdasarkan proses geomorfik yang terjadi, meliputi bentanglahan vulkanik, fluvial, solusional, struktural, aeolian, denudasional, organik, marine, hingga antropogenik. Konteks berdasarkan asal proses vulkanisme Gunung Merapi yang menyuplai kesuburan tanah dan material, wilayah urban Kota Yogyakarta yang menjadi rumah bagi jutaan warga, hingga Pantai Parangtritis-Parangkusumo yang menjadi batas dengan arus Samudera Hindia. Sementara itu, dalam aspek sosial budaya, terdapat pula filosofi ‘Hamamayuning Bawana’ yang menjadi panduan tata ruang wilayah berdasarkan korelasi ruang budaya dan spiritual tata kelola wilayah Yogyakarta. Sumbu filosofi Yogyakarta yang tersusun atas Tugu Golong Gilig–Kraton Yogyakarta–Panggung Krapyak yang juga menghubungkan sumbu imajiner utara selatan Gunung Merapi dengan Kraton Laut Selatan juga secara spiritual mengaitkan fenomena geosfer dan antroposfer yang saling berkesinambungan, layaknya aktivitas vulkanisme Merapi yang terkait erat dengan tektonisme lempeng di Samudra Hindia (Ariyanti dkk, 2021).

Saat ini pada kenyataannya terdapat beberapa orang yang belum tahu dan paham akan bagaimana status keistimewaan Yogyakarta dapat berdampak bagi kehidupan dan aspek sosial budaya masyarakat, khususnya pada masalah agraria dan lingkungan yang belakangan ini menjadi titik diskusi hangat bagi para pegiat aktivis lingkungan. Oleh karena itu, Diskusi Eksternal dengan tema “Sumbu Lingkungan atau Filosofi: Keistimewaan Isu Lingkungan di Tanah Jogja” diharapkan dapat menambah pengetahuan dan menumbuhkan sikap kritis terhadap isu-isu lingkungan dan bagaimana dinamika status keistimewaan Yogyakarta memengaruhi isu-isu yang muncul di tanah Jogja serta solusi yang dapat ditawarkan terhadap isu tersebut.

Geografi hukum adalah studi mengenai karakteristik geografi dapat mempengaruhi kebijakan atau hukum suatu wilayah, serta bagaimana suatu produk hukum tersebut berdampak pada wilayah spasial (Benda-Beckmann, 2016). Salah satu studi kasus geografi hukum adalah Yogyakarta, dengan geografi dan keistimewaannya yang menjadikan kondisi hukumnya berbeda dengan provinsi lain. Salah satu isu utama yang dihadapi oleh Yogyakarta akibat status keistimewaannya adalah hukum agraria atau pertanahan. Hal ini disebabkan oleh UU Keistimewaan yang berbeda dalam prinsip dan penerapan dengan UU Pokok Agraria yang diterapkan oleh pemerintah pusat, sehingga mengakibatkan adanya dualisme peraturan tanah dan kewenangan yang berlapis antara pusat dan daerah (Illiyani, 2020).

Demo Terkait Isu Pertanahan

Sumber: http://wargajogja.net

Salah satu isu pertanahan yang seringkali muncul belakangan ini terkait dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang sedang digalakkan pada periode pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan memasukkan proyek-proyek yang dinilai memiliki kontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi ke dalam satu daftar prioritas. PSN tersebut meliputi proyek-proyek skala besar yang diistimewakan oleh pemerintah sehingga mengalami percepatan jalannya menuju pembangunan, baik dalam kemudahan dalam pengurusan persyaratan administratif hingga jaminan risiko finansial dan politik, contohnya seperti proyek Wadas, Bandara YIA, Tol Jogja-Solo, LRT Jabodebek, Pulau Rempang, hingga IKN (Ibu Kota Nusantara) (Wardana, 2022). Ragam program yang didorong untuk percepatan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden No. 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, menjadikan PSN sebagai program pemerintah dengan legal framework yang kuat dan keistimewaan percepatan pembangunan proyek. Oleh karena itu, PSN menjadi isu keistimewaan secara nasional.

Berdasarkan pelaksanaan pembangunan PSN tidak jarang mendapat reaksi negatif berupa penolakan warga karena banyak proyek tersebut dibangun di ruang kehidupan masyarakat sehingga seringkali terjadi konflik lahan antara pemerintah dengan masyarakat lokal. Hal ini dikarenakan status keistimewaan dan legal framework PSN memangkas jumlah perizinan dan alur birokrasi yang diperlukan proyek untuk mempercepat pembangunan. Salah satu alur perizinan yang dipangkas tersebut adalah AMDAL, sehingga banyak proyek-proyek berlabel PSN dibangun tanpa adanya analisis dampak lingkungan maupun pertimbangan terhadap masyarakat setempat.

Tidak adanya perizinan yang penting bagi pertimbangan dampak lingkungan maupun masyarakat menjadikan PSN cenderung problematik. Hal ini dikarenakan PSN dalam perspektif geografi hukum merupakan salah satu proses produksi ruang baru dalam upaya sirkulasi kapital atau modal yang berimplikasi terhadap keadilan ruang masyarakat setempat yang tidak dipertimbangkan akibat keistimewaan status PSN tersebut. Hal ini ditambah dengan fakta bahwa suatu wilayah ketika telah termasuk sebagai salah satu PSN, status proyeknya tidak dapat diganggu gugat karena superioritas kerangka hukumnya yang sangat tinggi. Salah satu faktor tingginya status PSN dan sulitnya penggugatan pembangunan PSN adalah bobot pembangunan demi kepentingan umum yang menjadi dasar utama pelaksanaan PSN. Hal ini menimbulkan dilema dengan kepentingan masyarakat setempat yang mungkin menolak PSN akibat adanya permasalahan terkait wilayahnya dijadikan sebagai kepentingan kelompok yang berbobot lebih rendah dari pembangunan PSN yang berstatus sebagai kepentingan umum.

Hangatnya isu Proyek Strategis Nasional beserta ragam penolakan atau komplikasinya terkait dengan fenomena neoliberalisme pertanahan. Fenomena tersebut mengemukakan bahwa suatu wilayah atau ruang dianggap akan memiliki masa depan lebih baik ketika ekonominya meningkat, sehingga mengubah tata kelola pertanahan jadi berbasis investment dan kepentingan investor dengan penekanan terhadap pasar bebas dan kapital modal yang dipercayai lebih efisien (Wardana, 2020). Hal ini secara teori dapat menghasilkan kondisi suatu ruang yang optimal dimanfaatkan untuk kepentingan yang sesuai atau sejalur dengan keinginan pasar atau masyarakat. Namun demikian, praktik neoliberalisasi lahan seringkali memicu ruang yang didominasi oleh sektor swasta yang bertujuan untuk meningkatkan keuntungan dan kapital sebanyak mungkin tanpa adanya pertimbangan masyarakat yang mungkin terdampak. Contoh terjadinya neoliberalisasi ini dapat dilihat di Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Borobudur yang mengalami privatisasi oleh investor sehingga merampas hak warga yang menggantungkan hidup pada arus wisatawan dan ekonomi pariwisata.

Terkait dengan isu PSN, Yogyakarta juga memiliki beberapa PSN yang terletak dalam daerah administrasinya. Salah satunya adalah Yogyakarta International Airport (YIA) yang terletak di Kecamatan Temon, Kulon Progo. Berdasarkan pengalaman wawancara dengan warga, banyak warga yang terlibat di pembangunan YIA mengkonfirmasi adanya pemangkasan perizinan pembangunan YIA. Hal ini berdampak pada berkurangnya luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kecamatan Temon yang meningkatkan kerawanan bencana banjir bagi penduduk sekitarnya. Pemangkasan perizinan demi percepatan pembangunan PSN YIA juga mengakibatkan Kecamatan Temon belum siap dengan dampak lingkungan akibat YIA, karena belum adanya persiapan maupun analisis peningkatan kerawanan banjir di Temon akibat pembangunan YIA. Hal ini mengakibatkan belum ada mitigasi yang tepat untuk mengantisipasi peningkatan risiko tersebut.

Keistimewaan hukum pertanahan di Daerah Istimewa Yogyakarta, keberadaan PSN berkaitan dengan Sultan Ground dan Pakualaman Ground. Keduanya merupakan tanah hak milik Keraton sehingga berstatus sebagai hak paling tinggi menurut UUPA yang berlaku secara nasional. Dalam konteks nasional, pembangunan PSN umumnya dapat langsung mengambil tanah apapun milik siapapun demi pembangunan PSN karena status keistimewaannya. Namun demikian, PSN di Yogyakarta tidak bisa langsung mengambil lahan karena berkonflik dengan status keistimewaan tanah Yogyakarta sehingga hanya dapat meminjam atau meminta izin dengan Kraton. Keberadaan status keistimewaan lahan di Yogyakarta juga menghasilkan banyak kasus tanah di Yogyakarta yang meski statusnya milik pribadi, masih ada kemungkinan sebenarnya merupakan bagian dari Sultan Ground, sehingga terdapat dualisme peraturan lahan yang mengakibatkan konflik lahan.

Konflik lahan akibat keistimewaan ini dapat mengakibatkan ketimpangan sosial ekonomi dengan lahan di Yogyakarta. Salah satunya adalah isu tanah Wedi Kengser atau Kengser Kali yang merupakan dataran banjir sungai yang subur dengan deposit tanah vulkanik. Status Wedi Kengser tersebut merupakan bagian dari Sultan Ground menurut hukum pertanahan Yogyakarta, dengan izin diberikan pada manajemen cangkok setempat. Lahan subur ini telah lama berfungsi sebagai salah satu tempat pertanian subur dan produktif, serta menjadi mata pencaharian banyak penduduk sekitar sungai, terutama di sempadan sungai Progo dan Opak. Namun demikian, praktik ini terancam dengan dirampasnya atau dilarangnya praktik pertanian di dataran sempadan sungai oleh Kraton dengan alasan konservasi sempadan sungai. Hal ini dipersulit dengan adanya konflik kepentingan dengan pemerintah Kabupaten Bantul yang setuju dengan pemanfaatan lahan Wedi Kengser untuk agrikultur sebagai upaya mendorong produksi pertanian Bantul. Hal ini mengakibatkan banyak terjadinya konflik lahan dengan banyak pemilik atau pengguna Wedi Kengser yang belum memiliki kepastian dan perlindungan hukum, serta belum adanya Perda yang secara khusus mengatur tentang tanah wedi kengser sehingga memerlukan kekancingan atau izin hak pakai dari sultan.

Berdasarkan kerangka hukumnya, PSN memiliki dasar undang-undang yang sangat kuat dalam alih lahan dan akuisisi lahan demi kelancaran pembangunan sehingga bahkan di tingkat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Akibatnya, masyarakat tidak dapat melawan melalui jalur gugatan hukum atau dipastikan akan kalah dalam basis hukum. Hal ini mengakibatkan hanya ada upaya sosialisasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah, sehingga tidak ada penolakan warga yang dapat membatalkan atau mengubah rencana PSN secara berarti. Kuatnya dasar hukum PSN salah satunya disebabkan oleh label ‘pembangunan demi kepentingan umum’ yang dimilikinya. Akan tetapi, apakah hal tersebut bisa selalu benar?

Berdasarkan kasus konflik akibat Wedi Kengser dan pembangunan PSN yang mengabaikan perizinan lingkungan atau pertimbangan masyarakat, terdapat pola yang mudah diamati. Ketika terdapat kepentingan masyarakat yang merusak alam, pemerintah akan menentang dan menjegal upaya masyarakat dengan dalih konservasi lingkungan, kadang hingga dengan metode yang represif. Namun demikian, hal yang berbeda terjadi apabila alasan tersebut diterapkan untuk PSN, meskipun daerah tersebut memiliki fungsi ekologis tersendiri atau risiko bencana tersendiri. Hal ini dapat dilihat dengan contoh daerah Wadas yang dahulu tidak mengalami banjir sebelum adanya pertambangan di wilayah tersebut sehingga terbangun ecological knowledge berupa local wisdom oleh warga untuk tidak melakukan eksploitasi lingkungan berlebih. Akan tetapi, kearifan lokal ini tidak dipertimbangkan oleh pemerintah sama sekali dalam pembangunan PSN-nya di Wadas.

Lantas, patut dipertanyakan apakah warga dapat menuntut pemerintah terhadap dampak lingkungan yang diakibatkan oleh pemerintah? Pemerintah seringkali meminta masyarakat untuk menyelesaikan konflik atau penolakan proyek pemerintah melalui jalur formal atau penuntutan hukum. Namun demikian, jalur penuntutan hukum biasanya sulit terjangkau oleh masyarakat umum dikarenakan banyaknya sumber daya yang diperlukan untuk proses penuntutan dan pengadilan hukum, meliputi pengacara, berkas legal, hingga keperluan formal lainnya. Selain itu, banyak pula konflik lahan tersebut terjadi pada masyarakat marjinal yang mungkin belum memiliki pengetahuan akan jalur formal penuntutan, sehingga menyulitkan penyelesaian konflik melalui jalur hukum. Oleh karena itu, banyak masyarakat memilih untuk menempuh jalur nonformal, seperti protes atau demonstrasi.

Berdasarkan data riwayat tuntutan, penyelesaian konflik jalur hukum juga jarang mencapai solusi yang berpihak pada masyarakat. Tercatat dari tahun 2009 hingga 2022, hanya terdapat satu tuntutan hukum lingkungan mengenai perubahan iklim yang dikabulkan oleh pengadilan, yaitu tuntutan pencabutan izin PLTU Tanjung Jati A di Cirebon oleh Walhi yang dikabulkan oleh PTUN Bandung. Selain itu, dikabulkannya putusan pengadilan juga tidak menjadi garansi terselesaikannya konflik lingkungan. Sebagai contoh, gugatan isu polusi udara Jakarta pada tahun 2019 yang diajukan oleh perwakilan warga Jakarta dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta. Meskipun demikian, gugatan tersebut tidak membuahkan hasil berarti terhadap upaya pengurangan polusi, melainkan menghasilkan saling aju banding dan kasasi tingkat Mahkamah Agung yang mengulur waktu pelaksanaan hasil putusan. Kembali pada isu PSN, Peraturan Pemerintah mengenai PSN memberikan proyek-proyek tersebut dasar hukum yang superior dan kompleks, meliputi undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan banyak lagi, sehingga sulit bagi masyarakat untuk menggugat dan mencari ‘celah’ dalam hukum undang undangnya.

Apabila isu pertanahan ini ditarik kembali ke isu lokal di provinsi DIY, Yogyakarta sudah memiliki Domein verklaring sebagai hukum tanah tertinggi milik Sultan Yogyakarta dan Pakualaman kecuali yang diberikan eigendom sejak masa penjajahan Belanda. Hal ini mengakibatkan UU Pokok Agraria mengakibatkan konflik dan dualisme hukum pertanahan di Yogyakarta dengan dasar hukum yang berlapis dan tumpang tindih. Sebagai contoh, pembangunan kembali Benteng Keraton di wilayah timur merupakan puncaknya kekuasaan tanah Sultan di Yogyakarta. Akibatnya, warga cenderung hanya bisa terima saja terhadap pembangunan yang mengusik ruang kehidupan mereka. Selain itu, UNESCO sebagai lembaga internasional memiliki label kuat yang dapat meningkatkan pariwisata Jogja, terutama dalam konservasi world heritage, sehingga patut diwaspadai dampak masyarakat dan neoliberalisasi kawasan budayanya untuk pariwisata. Studi kasus Malioboro sebagai bagian dari sumbu filosofi World Heritage UNESCO, terdapat ketentuan wilayah bebas emisi yang rencananya menggusur semua pedagang ke Teras Malioboro. Hal ini tentu akan mengubah penggunaan ruang yang menjadi penyambung hidup masyarakat lokal Malioboro serta dapat pula mengurangi corak kultural hingga daya tarik wisata Malioboro itu sendiri.

Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Sultan sebagai kepala daerah dan pemerintahan mengakibatkan terjadinya fenomena ke-tabu-an demokrasi di Yogyakarta sehingga banyak masyarakat lokal enggan mendiskusikan tentang demokrasi di Yogyakarta. Hal ini mengakibatkan kadang tidak terdapat pelibatan masyarakat, sosialisasi, atau partisipasi masyarakat dalam proyek pembangunan. Hal ini diperparah dengan adanya UU Cipta Kerja yang memangkas partisipasi masyarakat. Sebelumnya, sosialisasi dan partisipasi masyarakat melibatkan warga yang terdampak dan yang berpotensi terdampak, serta dengan ahli lingkungan. Akan tetapi, setelah UU Ciptaker berlaku, hanya masyarakat terdampak langsung yang kini dilibatkan dalam sosialisasi. Selain itu, terdapat pula masalah partisipasi masyarakat sangat bersifat tokenisme, yaitu melalui sosialisasi saja tanpa ada jajak pendapat atau upaya lain. 

Hal ini disebabkan oleh kesalahpahaman makna partisipasi publik oleh pemerintah serta budaya pembangunan yang cenderung bersifat top-down. Partisipasi hanya berupa sosialisasi tanpa adanya pelibatan dari awal, sehingga pada akhirnya pengadilan hanya bersifat sebagai tempat sampah atau cuci piring penolakan warga tanpa jawaban pasti. Berdasarkan masalah tersebut, sangat diperlukan adanya prinsip ‘free prior informed consent’ atau FPIC untuk pelibatan masyarakat pada tiap aspek pembangunan. Prinsip tersebut menjamin kebebasan masyarakat dalam partisipasi pembangunan, sosialisasi, pertimbangan, hingga persetujuan pembangunan sebelum berlangsungnya pembangunan, tanpa adanya pemaksaan, intimidasi, maupun tindakan represif (Carino, 2005). Tidak diterapkannya FPIC berpotensi melanggengkan pola kriminalisasi dan represi warga dalam pembangunan. Untuk itu, diperlukan perubahan paradigma pembangunan oleh pemerintah melalui prinsip FPIC untuk memastikan pembangunan yang berkelanjutan dan harmonis dengan warga.

 

Daftar Pustaka

  • Ariyanti, V., Scholten, P., Edelenbos, J. (2021). The Potential Contribution of Cultural Ecological Knowledge to Resources Management in a Volcanic River Basin. In: Hülsmann, S., Jampani, M. (eds) A Nexus Approach for Sustainable Development . Springer, Cham. https://doi.org/10.1007/978-3-030-57530-4_12
  • Benda-Beckmann. (2016). Spatializing Law: An Anthropological Geography of Law in Society. (2016). United Kingdom: Taylor & Francis.
  • Cariño, J. (2005). Indigenous peoples’ right to free, prior, informed consent: reflections on concepts and practice. Ariz. J. Int’l & Comp. L., 22, 19.
  • Illiyani, M. (2020). Polemik Pertanahan Di Daerah Istimewa Yogyakarta:(Paska terbitnya Undang-Undang No 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta). Jurnal Masyarakat dan Budaya, 22(3).
  • Santosa, L. W. (2016). Keistimewaan Yogyakarta dari sudut pandang geomorfologi. Yogyakarta: UGM PRESS.
  • Wardana, A. (2022). Geografi Hukum Proyek Strategis Nasional: Studi Kasus Bendungan Bener di Purworejo, Jawa Tengah. Undang: Jurnal Hukum, 5(1), 1-41.
  • Wardana, A. (2020). Neoliberalizing cultural landscapes: Bali’s agrarian heritage. Critical Asian Studies, 52(2), 270-285.

 


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.