DISKUSI EKSTERNAL: KEBIJAKAN AGRARIA DAN TATA RUANG DALAM MEWUJUDKAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEBERLANJUTAN
SUB TEMA: Deforestasi dan Perubahan Penggunaan Lahan
Perubahan penggunaan lahan menjadi salah satu isu tata ruang yang paling kompleks terjadi pada dasawarsa ini. Alih fungsi lahan paling banyak terjadi dari kawasan hutan menjadi pertanian atau perkebunan industri. Diperkirakan bahwa 57% konversi lahan hutan di Indonesia berubah menjadi lahan perkebunan sawit dan 20% sisanya bersumber dari lahan pulp dan kertas (Wahyuni dkk, 2021). Namun, lahan-lahan tersebut berdiri atas nama “Deforestasi Terencana” sehingga mendapat branding sebagai perubahan penggunaan lahan yang “ramah lingkungan”.
Deforestasi terencana merupakan upaya pemanfaatan hutan yang melibatkan perencanaan matang dan pengelolaan sumber daya secara bertanggung jawab dan berkelanjutan (Yasman, 2013). Salah satu kebijakan untuk menanggulangi deforestasi adalah mengacu berdasarkan program REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation). Negara Indonesia secara legal melalui UU No 16 Tahun 2016 telah meratifikasi Paris Agreement dalam Nationally Determined Contributions (NDC) yang berisi target penurunan Gas Rumah Kaca (GRK) hingga tahun 2030. Laporan NDC mengikutsertakan 5 sektor utama dalam penurunan emisi GRK, yaitu energi, limbah, proses industri, pertanian, dan kehutanan.
Sumber: Jakarta Post
Program REDD+ dan NDC secara konkrit tertuang pada capaian FOLU Net Sink 2030. Forestry and Other Land Uses (FOLU) merupakan kondisi serapan karbon kehutanan dan penggunaan lahan yang sudah berimbang atau lebih tinggi dari emisi yang dihasilkan pada tahun 2030. Secara kontekstual, program yang ditawarkan mencakup pengurangan laju deforestasi lahan, pengurangan degradasi lahan, sustainable forest management, rehabilitasi hutan, restorasi hutan, dan konservasi hutan.
Pengelolaan hutan secara aktual menyimpan berbagai permasalahan terkhusus pada aspek sosial. Contohnya, hutan di Papua yang direncanakan sebagai food estate baru untuk memenuhi kebutuhan tebu yang telah menimbulkan kekhawatiran dengan luas lahan 2 juta hektar. Masyarakat adat menjadi aktor terdampak paling besar karena hutan yang sebagai sumber kehidupan dan penghidupan diubah menjadi lahan tebu baru. Seolah tidak berkaca dari food estate di Kalimantan, pemerintah berdalih bahwa rencana pembangunan tersebut bertujuan untuk meningkatkan perekonomian nasional.
Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terkhusus hutan menjadi tantangan yang perlu didekati secara multidisiplin. Sinergitas Pentahelix yang mengikutsertakan pemerintah, akademisi, pengusaha, media, dan masyarakat menjadi strategi yang perlu diupayakan. Peran serta seluruh pihak dengan dialog publik berdasarkan asas No One Left Behind diharapkan mampu mewujudkan keseimbangan antara kepentingan ekonomi, ekologi, dan sosial secara berkelanjutan di Indonesia.
SUB TEMA: Reforma Agraria dan Ketahanan Pangan
Reforma agraria merupakan usaha bagi pemerintah untuk menata struktur kepemilikan tanah di Indonesia. Reforma agraria dijanjikan dapat menyelesaikan berbagai konflik agraria dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, apakah kenyataan terkait janji reforma agraria benar-benar terjadi?
Sumber: Betahita
Reforma agraria telah menjadi bagian dari janji-janji politik pemerintah sebelumnya. Janji tersebut harapannya dicapai dengan redistribusi tanah dan legalisasi aset. Regulasi terkait dengan reforma agraria telah tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2018, regulasi tersebut kemudian diperbarui dalam Perpres Nomor 68 Tahun 2023 terkait dengan Percepatan Reforma Agraria. Peraturan tersebut menilai bahwa masyarakat juga harus aktif dalam usaha reforma agraria yang diselenggarakan oleh pemerintah. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah telah merealisasikan legalisasi 110,5 juta bidang tanah. Namun, capaian tersebut hanya terbatas pada legalisasi aset.
Kenyataannya, reforma agraria masih menghadapi banyak tantangan. Salah satu tantangan tersebut bahkan datang dari program pemerintah lainnya, yakni pembangunan infrastruktur. Reforma agraria diharapkan dapat mempertahankan lahan pertanian dari perubahan penggunaan lahan. Lahan pertanian tersebut ditunjukkan untuk usaha Indonesia mencapai ketahanan pangan. Selain lewat reforma agraria, pemerintah telah menggelontorkan dana yang luar biasa banyaknya untuk mencapai usaha tersebut lewat food estate.
Sungguh mulia usaha pemerintah untuk mencapai ketahanan pangan bagi bangsa. Ekstensifikasi menjadi salah satu poin dalam pelaksanaan food estate. Ekstensifikasi tersebut didukung oleh kebijakan reforma agraria. Namun dalam praktiknya, terdapat tumpang tindih antara komunikasi kementerian terkait yakni Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Ketidakjelasan komunikasi antara dua kementerian dapat melahirkan permasalahan baru.
Banyak permasalahan yang muncul dalam implementasi program reforma agraria maupun food estate. Program yang berjalan belum maksimal malah menghasilkan permasalahan baru, baik yang muncul dari pertikaian agraria maupun kerusakan lingkungan akibat food estate. Perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan perlu dilakukan dengan maksimal agar tujuan dan ide dari ketahanan pangan sekaligus reforma agraria dapat dicapai.
Referensi Tambahan:
https://www.kompas.id/baca/nusantara/2024/01/24/mencari-penuntas-janji-reforma-agraria
https://koran.tempo.co/read/editorial/490051/kegagalan-reforma-agraria-jokowi
https://interaktif.tempo.co/proyek/ringkasan-10-tahun-nawacita-jokowi/
Lahan Tebu Merauke 2 Juta Ha Bakal Dibagi 4 Klaster, Apa Saja? – Sektor Riil
Wahyuni, H., & Suranto, S. (2021). Dampak deforestasi hutan skala besar terhadap pemanasan global di Indonesia. JIIP: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, 6(1), 148-162.
Yasman, I. (2013). Konsep dan Kebijakan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Implementasinya: Sustainable Forest Management. Natural Resource Development Centre: Jakarta. :
0 Comments