Bencana Musiman: Hujan Deras Menjadi Dalang Terjadinya Tanah Longsor di Tambang Emas Ilegal Gorontalo
Arizaldi Wicaksono Putro
Marcelinus Pascalis Budi Setyawan
(Sumber: https://akcdn.detik.net.id/community/media/visual/2024/07/07/gorontalo_169.jpeg?w=700&q=90)
Beberapa hari lalu, Warga Gorontalo dikejutkan dengan bencana longsor yang menimbun sebuah tambang emas ilegal di Desa Tulabolo Timur, Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango. Longsor terjadi sekitar pukul 04.00 WITA ketika para pekerja tambang sedang tidur pada kamp istirahat penambang. Longsor kemudian menimbun kawasan tambang emas dengan panjang 150 meter tersebut. Hujan deras diduga kuat menjadi penyebab terjadinya longsor ini. Tim SAR masih terus mencari korban yang masih tertimbun dalam kamp hingga artikel ini dibuat. Sebanyak 124 orang diperkirakan menjadi korban dalam bencana ini dengan rincian 23 orang meninggal dunia, 66 orang selamat, dan 35 orang masih dalam pencarian. Curah hujan yang deras dan sulitnya akses menuju lokasi menjadi penghambat bagi tim untuk melakukan evakuasi dan pencarian.
Tanah longsor merupakan bencana yang umum terjadi di Indonesia. Tercatat sebanyak 1.568 kejadian tanah longsor terjadi dalam kurun waktu 2022-2024 menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Tanah longsor sendiri dapat terbagi menjadi beberapa jenis yaitu longsoran translasi, longsoran rotasi, pergerakan blok, rockfall (runtuhan batu), rayapan tanah, dan aliran bahan rombakan. Longsoran translasi dan longsoran rotasi merupakan dua jenis tanah longsor yang banyak terjadi di Indonesia (Haribulan et al, 2019). Tanah longsor dapat terjadi apabila memenuhi tiga kondisi yaitu lereng yang cukup curam, adanya lapisan di bawah permukaan tanah yang kedap air dan lunak sebagai bidang gelincir, dan adanya air dalam tanah (Arsyad, 2010). Setidaknya terdapat dua faktor yang menjadi penyebab terjadinya tanah longsor yaitu faktor pengontrol dan faktor pemicu. Faktor pengontrol yaitu faktor yang mempengaruhi material meliputi kondisi geologi, kemiringan lereng, keberadaan kekar maupun sesar, dan litologi (Naryanto, 2017). Faktor pemicu merupakan faktor yang menyebabkan pergerakan material tersebut meliputi curah hujan, gempabumi, erosi, maupun aktivitas manusia (Naryanto, 2017).
(Sumber: https://bppikhlsulawesi.wordpress.com/wp-content/uploads/2018/04/longsor-gorontalo.jpg?w=1024)
Peta Kerentanan Bencana Longsor Kabupaten Gorontalo menunjukkan bahwa wilayah Suwawa Timur memang memiliki kerentanan longsor berkisar antara agak rawan hingga sangat rawan. Kerentanan ini dipengaruhi oleh kemiringan lereng, ketinggian, arah hadap lereng, tutupan lahan, jenis tanah, jarak sesar, dan batuan geologi pada daerah tersebut (Nugroho, 2020). Kepala BPBD Kabupaten Bone Bolango mengatakan bahwa lokasi pertambangan emas ilegal yang saat ini mengalami longsor pernah ditutup dulunya. Hal ini dikarenakan lokasi tersebut memang rawan longsor bahkan sempat mengalami beberapa kali longsor. Hujan lebat yang mengguyur Sulawesi juga menjadi faktor pemicu terjadinya bencana longsor. Selain tanah longsor, hujan deras juga memicu banjir di beberapa kawasan Gorontalo.
Bencana longsor yang terjadi di Desa Tulabolo Timur, Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan terjadi melalui proses yang berkepanjangan akibat penambangan ilegal yang dilakukan oleh masyarakat sekitar maupun masyarakat pendatang yang mencari pendapatan sebagai penambang ilegal. Upaya konservasi perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya kejadian longsor kembali, salah satunya dengan pembuatan teras (Wheaton dan Monke, 2001). Pembuatan teras berfungsi dalam mengendalikan limpasan permukaan yang muncul saat terjadi hujan sehingga laju limpasan dapat dikendalikan dan mencegah terjadinya longsor (Sutrisno dan Heryani, 2013).
Bencana longsor ini tentu menjadi perhatian bagi berbagai pihak. Pemerintah Provinsi Gorontalo diharapkan dapat menertibkan keberadaan tambang ilegal yang dapat membahayakan para pekerja dan mempertimbangkan bagaimana pengelolaan wilayah bekas-bekas tambang ilegal warga sehingga tidak kembali muncul tambang ilegal lainnya yang dapat menimbulkan bencana bagi masyarakat sekitar. Selain itu, diperlukan sosialisasi lebih lanjut kepada masyarakat yang melakukan penambangan secara tradisional mengenai bahaya penambangan secara ilegal pada wilayah-wilayah yang memiliki kerawanan bencana hidrologis terutama longsor. Kesadaran masyarakat yang meningkat mengenai tingkat kerawanan bencana suatu wilayah akan membantu dalam meningkatkan kapasitas ketangguhan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana longsor di kemudian hari.
Daftar Pustaka:
Arsyad, S. (2010). Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press
Haribulan, R., Gosal, P. H., & Karongkong, H. H. 2019. Kajian Kerentanan Fisik Bencana Longsor di Kecamatan Tomohon Utara. Jurnal Spasial. 6(3), 713-724
Naryanto, H. S. 2017. Analisis Kejadian Bencana Tanah Longsor di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Alami. 1(1), 1-10
Nugroho, D. D., & Nugroho, H. 2020. Analisis Kerentanan Tanah Longsor Menggunakan Metode Frequency Ratio di Kabupaten bandung Barat, Jawa Barat. Journal of Geodesy and Geomatics. 16(1), 8-18
Sutrisno, N. & Heryani, N. 2013. Teknologi Konservasi Tanah dan Air untuk Mencegah Degradasi Lahan Pertanian Berlereng. Jurnal Litbang Pertanian. 32(3), 122-130.
Wheaton, R. Z., & Monke, E. J. 2001. Terracing as a ‘Best Management Practice’ for controlling erosion and protecting water quality. Agricultural Engineering. 114