Dampak Konser Coldplay di Jakarta: Sudah Siapkah Jakarta Menjadi Kota Kreatif yang Sustainable?
oleh:
Andre Jonathan
Santi Dwi Rachmawati
Beberapa hari yang lalu Kota Jakarta menjadi kota perhentian pergelaran tur dunia dari salah satu band yang berasal dari Inggris, yaitu Coldplay. Tour dunia konser yang bertajuk “Music of the Spheres” ini menjadi tur terbesar yang diadakan oleh band ini sejak formasinya, dengan tiga benua dan puluhan kota perhentian. Kali ini, tur tersebut singgah di Stadion GBK pada Rabu, 15 November 2023. Tur ini menjadi salah satu dari sekian banyak perhelatan tur global para superstar dunia pascapandemi Covid-19, seperti Renaissance Tour oleh Beyonce, The Eras Tour oleh Taylor Swift, dan Farewell Yellow Brick Road Tour oleh Elton John. Secara regional, banyak pula musisi global hingga lokal yang mulai mengadakan kembali tur konser dan festival musik setelah perhentian pada masa pandemi.
Kembalinya normal aktivitas konser-konser dan festival menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi mulai bangkit kembali dengan kegiatan konsumsi masyarakat sebagai upaya pemulihan ekonomi. Aktivitas industri kreatif seperti konser musik memiliki dampak multiplier yang dapat berdampak besar pada kesejahteraan dan kegiatan ekonomi dari berbagai sektor, baik secara langsung, tidak langsung, hingga dampak ikutan event tersebut (Frey, 1994). Multiplier effect melonjak naik pascapandemi disebabkan oleh euforia di sektor wisata dan industri kreatif. Masyarakat memilih untuk membeli pengalaman dengan gencarnya pertumbuhan di sektor-sektor tersebut, sehingga mulai menyadari bahwa aktivitas sosial yang telah lama dibatasi menjadi sangat menarik, mengakibatkan terjadinya euforia pascapandemi.
Dampak multiplier effect dalam akibat konser musik dapat berupa kesejahteraan panitia dan penyelenggara event musik tersebut, UMKM yang berdagang di sekitar area event, industri pelayanan dan perhotelan, jasa transportasi dan akomodasi, serta manfaat tambahan dan pendapatan pajak pemerintah dari industri turisme lokal akibat event tersebut. Dilansir dari kompas.com pada Kamis (16/11/2023), salah satu bukti tingginya dampak konser tersebut dapat dilihat dari okupansi hotel di sekitar Sudirman, Senayan, dan GBK yang melonjak jauh hari sebelum tanggal konser digelar. Hal ini menjadi kabar segar bagi industri kreatif internasional dan lokal yang merasakan lesunya ekonomi dari 2020–2021, terutama pada sektor musik dan pertunjukan live yang tidak dapat berjalan pada masa pembatasan dan isolasi pandemi (Liang dan Mao, 2022). Dilansir pula dari JambiOne pada Kamis (16/11/2023), Putu Rusta Adijaya dari The Indonesian Institute (TII) Center for Public Policy Research menyampaikan bahwa penjualan tiket konser tur internasional dapat berkontribusi dengan pajak 15% dan biaya lainya untuk negara, sehingga meningkatkan pendapatan pajak negara.
Tercatat lebih dari 70.000 penonton menghadiri konser Coldplay di GBK, memenuhi kapasitas stadion tersebut. Oleh karena itu, kedatangan wisatawan mancanegara yang dapat tertarik oleh konser Coldplay menjadi nilai tambah dari dampak yang dirasakan. Wisatawan mancanegara dapat memberikan kontribusi devisa untuk Indonesia, terutama setelah pandemi yang menurunkan kedatangan turis mancanegara hingga sebesar 94% secara global (Cretu et al, 2021). Dilansir dari kompas.com pada Kamis (16/11/2023), Menteri Parekraf Sandiaga Uno menargetkan kedatangan wisatawan mancanegara sejumlah 10.000 hingga 12.000 wisatawan sehingga dapat menghasilkan devisa sebesar 25 juta dolar AS atau senilai 373 Miliar, dengan tiap wisatawan diprediksi dapat menghabiskan 1.000–1.500 dollar.
Di balik kesuksesan dan meriahnya konser Coldplay, acara tersebut juga warnai dengan ketidaklancaran proses ticketing. Hal ini dirangkum dari salah satu akun twitter bernama @adnardn pada Sabtu, (18/11/2023) yang mengumpulkan berbagai bukti kekacauan penyelenggaraan konser pada Rabu lalu tersebut. Banyak penonton yang telah melakukan pembelian menggunakan alur resmi dan tiket yang asli tidak dapat memasuki venue akibat hasil scan tiket yang sudah terpakai, ditambah dengan panitia penyelenggara yang tidak memberikan kejelasan maupun solusi mengenai alasan hal tersebut terjadi. Alur penukaran tiket dianggap kacau oleh sebagian penonton. Banyak penonton yang tidak memiliki tiket berhasil masuk ke venue dan tidak perlu melakukan proses scan tiket dengan adanya ‘orang dalam’ dari pihak penyelenggara konser. Penonton yang berdesak-desakan dan adanya antrian yang panjang menyebabkan sebagian penonton konser Coldplay pingsan. Selain itu, konser ini juga diwarnai dengan adanya penipuan tiket, baik dari calo tiket yang menaikkan harga tiket semena-mena, penimbun tiket untuk dijual kembali sebagai calo, hingga penipuan massal yang dilakukan oleh oknum tidak bertanggung jawab dengan cara merotasi 100 tiket, tetapi seakan-akan memiliki 8000 tiket. Penipuan ini berhasil menghabiskan dana sebesar 15 Milyar rupiah yang telah dipindahkan ke Bank di Negara Belanda. Ragam permasalahan ini juga kerap terjadi pada konser internasional lain, tidak dipungkiri bahwa terdapat musisi internasional yang ragu terhadap kemampuan Indonesia untuk mengakomodasi konsernya. Bahkan, hal ini juga dianggap oleh netizen sebagai salah satu alasan mengapa The Eras Tour oleh Taylor Swift tidak diselenggarakan di Indonesia meski banyaknya penggemar dan kapasitas venue yang memadai.
Dalam konteks global climate crisis, Coldplay juga menjadi salah satu pionir industri dalam menyelenggarakan konser yang lebih hijau dan sustainable, dengan reduksi emisi karbon, penggunaan energi terbarukan pada konser, hingga upaya-upaya berkelanjutan yang dilakukannya di tiap kota perhentian turnya (Tickell, 2023). Hal ini juga bukan upaya yang baru dari band asal Inggris ini. Sebelumnya di tahun 2019, Coldplay juga mengawali komitmen untuk menghentikan tur musiknya hingga tercapai metode konser yang lebih sustainable dan rendah emisi (Bossey, 2022). Dilansir dari CNN Indonesia pada Jumat (17/11/2023), Jakarta sendiri mendapatkan sumbangan berupa kapal trash collector jenis interceptor untuk mengatasi sampah sungai Cisadane yang mengalir ke laut, menandakan tingginya kesadaran akan isu lokal dalam konteks krisis iklim oleh Coldplay.
Di sisi lain, apakah Jakarta berhasil menyamakan komitmen dan upaya Coldplay dalam sustainability? Di tengah isu polusi yang memuncak tahun ini khususnya di Kota Jakarta, kendaraan pribadi masih menjadi moda transportasi utama warga Jakarta. Kemacetan melanda Jakarta menjelang konser Coldplay, mengakibatkan banyak warga terjebak di jalan protokol Jakarta. Meski banyak moda transportasi umum yang dapat mencapai stadion GBK, meliputi MRT, TransJakarta, hingga KRL, masih banyak warga yang memilih kendaraan pribadi untuk mencapai stadion. Pemerintah bahkan telah mengambil langkah khusus untuk mengatasi kemacetan pasca konser, seperti dengan memperpanjang jam operasional transportasi umum, seperti KRL dan MRT untuk mengakomodasi rush hour pasca konser.
Meskipun demikian, banyak budaya yang hostile terhadap pejalan kaki masih dapat ditemukan. Di dalam lingkungan stadion GBK pun, banyak pula penonton yang tidak menerapkan budaya berjalan kaki. Bahkan, terdapat pula jasa layanan ojek online yang digunakan penonton untuk mencapai gate tertentu dari penyelenggaraan konser, meski jaraknya sangat dekat dan dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Hal ini meng-highlight ketergantungan penduduk Indonesia terhadap kendaraan bermotor dan bagaimana pembangunan berorientasi automobile mengakomodasi lingkungan yang tidak ramah terhadap pejalan kaki, menghasilkan budaya ketergantungan terhadap kendaraan pribadi.
Berbagai pengalaman dan bukti di atas menunjukkan bahwa penyelenggaran konser internasional di Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah untuk diselesaikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ragam permasalahan tersebut terkadang menghambat Indonesia mengkapitalisasi perannya sebagai destinasi pariwisata dengan industri dan ekonomi kreatif yang berkembang pesat. Mulai dari penyelenggara, venue, keberlanjutan, akomodasi dan transportasi, hingga birokrasi dan budaya Indonesia perlu dibenahi untuk menghasilkan pengalaman konser yang lebih terjamin dan berkualitas, baik bagi musisi yang menyelenggarakan konser maupun bagi penonton dan penggemar yang mendambakan singgahnya musisi internasional di Indonesia.
Sumber:
Bossey, A. (2022). Gatekeeper perceptions on adopting environmentally sound information and communication technology-enhanced live performances to improve the sustainability of music festivals. International Journal of Event and Festival Management, 13(3), 307-325.
Cretu, R. C., Stefan, P., & Alecu, I. I. (2021). Has tourism gone on holiday? Analysis of the effects of the COVID-19 pandemic on tourism and post-pandemic tourism behavior. Sci. Pap. Ser. Manag. Econ. Eng. Agric. Rural Dev, 21, 191-197.
Liang, J., & Mao, X. (2022, December). The Impact of COVID-19 on the Music Industry Revenue: Live Concerts and Music Records. In 2022 2nd International Conference on Economic Development and Business Culture (ICEDBC 2022) (pp. 375-381). Atlantis Press.
Tickell, A. (2023). Culture’s contributions to the climate challenge–a brief account of Julie’s Bicycle. In Museums and the Climate Crisis (pp. 157-170). United Kingdom: Routledge.
https://travel.kompas.com/read/2023/11/16/133757727/konser-coldplay-di-jakarta-okupansi-hotel-di-sekitar-gbk-capai-100-persen
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2023/06/20/dampak-konser-coldplay-terhadap-ekonomi-indonesia
https://www.jambione.com/lifestyle/1363291921/konser-coldplay-di-gbk-jakarta-berpotensi-dampak-nilai-tukar-rupiah-dan-penerimaan-pajak-negara
https://twitter.com/adnardn/status/1724800550934659390?t=PK7vcUHUQVB4gusjRP5G7w&s=08
https://twitter.com/adriansyahyasin/status/1724747645179355605