Wilayah Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke dikelilingi oleh empat lempeng tektonik yang tiga di antaranya saling bertemu, yakni lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Laut Filipina. Pertemuan antara ketiga lempeng membuat Indonesia termasuk dalam Cincin Api Pasifik atau Ring Of Fire, yang artinya Indonesia memiliki banyak gunung berapi karena banyak terbentuk dapur magma di bawah tanah di seluruh Nusantara.
Bencana yang kerap kali melanda tidak selalu sepenuhnya disebabkan oleh fenomena alam. Sikap dan perilaku manusia juga dapat memengaruhi terjadinya sebuah bencana. Pembangunan kota dan negara yang tidak matang perencanaannya, abai akan tingginya densitas penduduk, serta penetapan kebijakan yang kurang tepat turut memiliki andil dalam sebuah peristiwa yang kita sebut sebagai bencana. Bencana yang terjadi akibat tangan ulah manusia contohnya adalah banjir, tanah longsor, dan pencemaran, baik udara, air, maupun tanah. Oleh karena itu, penggunaan kata “bencana” saja lebih tepat dibandingkan dengan frasa “bencana alam” yang cukup banyak digunakan di kalangan masyarakat. Hal tersebut karena bencana tidak semata-mata terjadi akibat aktivitas alam melainkan terdapat juga peran manusia di dalamnya.
Misnomer bukanlah hal yang asing khususnya dalam bidang penelitian. Salah satu misnomer lain yang masih berkaitan dengan bencana adalah penggunaan frasa ‘banjir rob’ untuk menyebut banjir pesisir. Banjir rob bukanlah frasa yang tepat untuk menggambarkan kondisi air laut yang menggenangi wilayah pesisir karena kata rob sendiri sudah bermakna keadaan banjir yang disebabkan meluap dan pasangnya air laut, sehingga penggunaan frasa banjir rob dinilai kurang tepat.
Perbedaan penamaan dan persepsi inilah yang perlu diperhatikan agar masyarakat dan pemerintah tidak menyepelekan bencana? Mempercayai bahwa bencana adalah ketetapan dan kejadian alami dan manusia tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengatasinya adalah suatu sikap yang harus dirubah. Dengan menyadari bahwa bencana juga terjadi karena ulah manusia, pencegahan dan penanggulangan akan bencana akan lebih baik sehingga dapat menekan angka kerugian yang ditimbulkan.
Upaya untuk memperbaiki persepsi tersebut melalui penggunaan kata “bencana” dibandingkan dengan menggunakan frasa “bencana alam” merupakan upaya yang penting untuk dilakukan. Hal ini sejalan dengan pendapat beberapa peneliti di bidang kebencanaan yang mengkritisi penggunaan frasa “bencana alam”. Chmutina & Von Meding (2019), menyatakan bahwa penggunaan frasa tersebut dapat memberikan kesan bahwa kejadian bencana semata-mata disebabkan oleh fenomena alam saja dan mengabaikan faktor-faktor yang berasal dari masyarakat itu sendiri.
Upaya tersebut perlu dilakukan bersama-sama oleh berbagai pihak. Pemerintah dalam rilis resminya yang berkaitan dengan bencana perlu menggunakan kata yang tepat. Peran dari pihak media dalam penyebarluasan penggunaan kata yang tepat tersebut juga menjadi hal yang krusial. Selain itu, peran akademisi dalam hal ini juga diperlukan. Publikasi yang menjelaskan bahwa kejadian bencana juga ditentukan oleh kondisi yang dibangun oleh masyarakat perlu diperbanyak serta dikomunikasikan dengan baik agar pesan tersebut dapat tersampaikan dengan lebih mudah kepada masyarakat Indonesia secara umum.
Persepsi yang tepat tersebut pada akhirnya bermanfaat sebagai landasan awal agar upaya pencegahan bencana yang ada di Indonesia dapat dilaksanakan dengan baik. Apabila persepsi yang tepat terhadap bencana telah terbentuk dengan baik maka diharapkan masyarakat juga turut mendorong dan berpartisipasi aktif dalam upaya yang bersifat preventif, baik yang dilakukan oleh lembaga atau instansi berwenang, akademisi, aktivis, maupun dari kalangan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, persepsi yang tepat terhadap bencana oleh masyarakat Indonesia menjadi hal yang penting dalam upaya pencegahan bencana.
Oleh: Aflah Bening Kuncoro & Anastasya Egidia Amanda
Referensi
Chmutina, K., & Von Meding, J. (2019). A Dilemma of Language: “Natural Disasters” in Academic Literature. International Journal of Disaster Risk Science, 10(3), 283-292.
0 Comments