Diskusi internal Divisi Pengkajian Isu Global (PIG) EGSA yang kedua telah terlaksana pada tanggal 20 November 2022 secara daring melalui platform zoom meeting. Diskusi tersebut mengangkat tema “Euforia Pascapandemi, Risiko Bencana atau Kebangkitan Ekonomi” yang terinspirasi dari maraknya berita peristiwa kerumunan kegiatan pascapandemi yang memakan korban, dari desak-desakan, pingsan, hingga tewas. Tema tersebut dibahas dalam berbagai subtopik maupun perspektif, yakni latar belakang, istilah dan definisi, faktor-faktor yang memengaruhi, perspektif ekonomi, hingga perspektif manajemen kebencanaan.
Banyak sekali tragedi yang terjadi pascapandemi berkaitan dengan kerumunan masyarakat akibat antusiasme yang cukup tinggi karena social distancing yang cukup lama. Salah satu di antaranya adalah Tragedi Kanjuruhan, kerusuhan yang terjadi usai pertandingan antara Arema FC dengan Persebaya pada tanggal 1 Oktober 2022. Tragedi tersebut mengakibatkan sebanyak 132 orang meninggal dunia, 596 orang luka ringan dan sedang, serta 26 lainnya luka berat. Hal ini terjadi ketika suporter Arema yang tidak bisa menahan kekecewaan karena timnya kalah sehingga mereka turun ke tengah lapangan dan berusaha mencari para pemain dan official team. Oleh karena itu, aparat menembakkan gas air mata ke tribun untuk mengatasi kerusuhan, tetapi situasi semakin tidak kondusif. Massa berusaha menyelamatkan diri dari gas dengan melarikan diri ke satu titik pintu keluar sehingga terjadi penumpukan massa yang menyebabkan banyak korban akibat kekurangan oksigen dan kesusahan bernapas.
Selain tragedi Kanjuruhan, pada bulan yang sama terjadi tragedi Itaewon yang menyebabkan 156 korban meninggal. Sebanyak 100.000 orang mendatangi kawasan Itaewon untuk merayakan Halloween, padahal kawasan tersebut sangatlah kecil sehingga massa berdesak-desakan di sebuah gang sebelah barat Hotel Hamilton yang lebarnya tidak lebih dari 3 meter. Kasus konser musik Berdendang Bergoyang yang digelar di Istora Senayan juga menambah catatan kelam pascapandemi dengan banyaknya penonton yang pingsan akibat berdesak-desakan.
Dilihat dari ketiga tragedi tersebut, terdapat kesamaan penyebab utama, yaitu kerumunan massa yang berlebihan. Kerumunan massa yang berlebihan dan saling berdesak-desakan menyebabkan crowd crush, yaitu situasi ketika orang berdesak-desakan dan saling mendorong di ruang terbatas sehingga banyak korban yang berjatuhan dan terinjak-injak oleh kerumunan. Crowd crush dapat memicu sesak napas karena jalan oksigen ke otak menjadi terhambat sehingga di berbagai video yang beredar kita dapat menemukan banyak tenaga medis yang melakukan PCR.
Penyelenggara event menghadapi kemungkinan yang terjadi. Setelah pandemi banyak masyarakat yang ingin menghadiri event-event yang sebelumnya ditiadakan akibat pandemi, seperti perayaan Halloween, konser musik, maupun pertandingan sepak bola. Penjualan tiket yang melebihi kapasitas dari stadion atau area konser untuk menambah keuntungan menunjukkan kurang pahamnya penyelenggara terhadap keselamatan penonton. Seharusnya, penetapan kuota tiket yang ketat sesuai kapasitas dengan penjualan tiket secara online di website yang dapat menunjukkan jumlah sisa tiket dapat dilakukan secara bijak oleh penyelenggara. Selain itu, tempat yang kurang memadai seperti pada tragedi Itaewon ditambah meningkatnya jumlah pengunjung juga menjadi faktor yang menyebabkan banyaknya korban jiwa.
Martyn Amos, seorang profesor di Universitas Northumbria di Inggris, mengatakan bahwa peristiwa besar tersebut membutuhkan perencanaan yang tepat dan orang-orang yang terlatih untuk mengelola keramaian. Jika tidak menerapkan strategi tersebut, tragedi dapat terus terjadi selama belum diterapkan manajemen yang dapat mendeteksi, mencegah, dan mengantisipasi kepadatan kerumunan yang sangat tinggi. Aturan baku terkait standar operasional penanganan kerumunan yang aman dan efektif serta berlaku untuk seluruh stakeholder suatu event pun belum ditetapkan di Indonesia. Selain itu, sebagai calon audiens, kita harus memiliki pertimbangan yang matang sebelum menentukan akan mengikuti suatu event yang melibatkan kerumunan massa atau tidak dengan menelusuri tingkat keamanan dan keselamatannya terlebih dahulu.
Perlu digarisbawahi, bahwa euforia pascapandemi bukan satu-satunya faktor penyebab terjadinya berbagai tragedi, faktor lainnya dapat berupa pola pikir dan perilaku buruk yang telah menjadi kebiasaan masyarakat. Kerusuhan antarsuporter sepak bola bukan hal baru di Indonesia. Perilaku buruk seperti pengeroyokan dan bentrokan, pembakaran stadion, penusukan benda tajam, saling lempar sebagai ekspresi kekecewaan atas kekalahan tim yang didukung dan menyebabkan korban tewas telah terjadi di liga sepak bola Indonesia jauh sebelum pandemi. Begitu pula pada penyelenggaraan konser musik di Indonesia, crowd crush pada konser musik juga pernah terjadi jauh sebelum pandemi. Contohnya konser musik yang bertempat di Gedung Asia Afrika Cultural Center Bandung pada 9 Februari 2008 yang menewaskan 10 orang remaja. Oleh karena itu, diperlukan adanya sosialisasi secara intensif kepada masyarakat terkait pentingnya menciptakan suasana yang kondusif agar tidak terjadi crowd crush maupun kerusuhan.
Beralih ke perspektif ekonomi, konser-konser musik dan pertandingan sepak bola yang sudah mulai digelar di berbagai wilayah menunjukkan bahwasanya pertumbuhan ekonomi mulai bangkit kembali. Kegiatan-kegiatan yang meningkatkan konsumsi masyarakat tersebut dapat menjadi salah satu upaya pemulihan ekonomi. Contohnya kegiatan konser musik dapat meningkatkan kesejahteraan pelaku kegiatan ekonomi dari berbagai sektor, meliputi orang-orang yang berperan di industri musik tersebut, UMKM yang berdagang di sekitar area event, dan pihak lain di sekitarnya (seperti tukang parkir, bisnis penginapan, dll). Peningkatan konsumsi melalui aktivitas-aktivitas ekonomi tersebut dapat mendorong permintaan dan produksi jasa dalam negeri dan mengurangi ancaman resesi ekonomi. Pandemi Covid-19 menjadi salah satu penyebab ancaman resesi ekonomi global tahun 2023 akibat pembatasan sosial termasuk dalam berbagai kegiatan ekonomi sehingga tidak dapat berjalan semestinya.
Pembatasan sosial selama pandemi mengakibatkan resesi ekonomi di berbagai negara, tetapi negara berkembang cenderung tidak terlalu merasakan resesi ekonomi dibandingkan negara maju. Terbukti dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih cukup kuat disebabkan aktivitas ekonomi Indonesia didominasi oleh sektor informal, seperti pasar tradisional dan pedagang kaki lima. Hal ini menyebabkan perusahaan yang merupakan sektor ekonomi formal, seperti perusahaan entertainment, pariwisata, hospitality ingin meraup keuntungan kembali untuk menutupi kerugian yang dialami selama pandemi. Salah satunya dengan menjual tiket dalam jumlah besar dan over capacity. Contohnya kasus pada tragedi Kanjuruhan, dengan tiket yang melebihi kapasitas dan waktu tanding yang dipaksa dimundurkan hingga malam hari untuk memaksimalkan rating televisi.
Sektor-sektor pariwisata dan hospitality memiliki dampak ikutan yang sangat tinggi terhadap industri-industri lainnya sehingga meningkatkan ekonomi yang disebut sebagai multiplier effect. Multiplier effect melonjak naik pascapandemi disebabkan euforia di sektor wisata dan industri kreatif. Masyarakat memilih untuk membeli pengalaman dengan gencarnya pertumbuhan di sektor-sektor tersebut, sehingga mulai menyadari bahwa aktivitas sosial yang telah lama dibatasi menjadi sangat menarik dan mengakibatkan terjadinya euforia pascapandemi.
Dampak ekonomi akibat pembatasan sosial saat pandemi sangat dirasakan oleh pihak penyelenggara event yang melibatkan banyak orang. Dengan pelonggaran aktivitas sosial pascapandemi, banyak penyelenggara yang mencari keuntungan sebanyak-banyaknya sebagai ganti ditiadakannya event saat pandemi. Contohnya, Berdendang Bergoyang yang seharusnya hanya memiliki kapasitas 3000 tiket, terjual sebanyak 27.000 tiket. Tingginya antusiasme masyarakat yang terlihat dalam kasus tersebut menunjukkan bahwa adanya event-event konser maupun atraksi wisata seperti perayaan Halloween di Itaewon dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Beralih ke perspektif kebencanaan yang merujuk pada UU No. 24 Tahun 2007, bencana merupakan suatu kejadian yang merugikan kehidupan dan atau penghidupan manusia dan terdiri atas bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial berdasarkan faktor penyebabnya. Berdasarkan definisi tersebut, peristiwa-peristiwa crowd crush yang mengakibatkan kerugian baik sesak napas, pingsan, hingga tewas dapat digolongkan sebagai bencana. Apabila ditelusuri berdasarkan faktor penyebabnya, kerusuhan yang terjadi akibat saling dorong antarpenonton atau saling lempar antarsuporter dapat dikategorikan sebagai bencana sosial. Namun, apabila faktor penyebab dilihat dari sudut pandang kegagalan suatu sistem penyelenggaraan event dan euforia pascapandemi maka dapat dikategorikan sebagai bencana nonalam. Oleh karena itu fenomena crowd crush masih memerlukan pengkajian lebih jauh dari perspektif kebencanaan.
Kerumunan sebagai potensi bahaya bencana sosial (korban akibat desak-desakan) dan bencana nonalam (kenaikan jumlah pasien Covid-19) seharusnya menjadi tanggung jawab seluruh stakeholder suatu event yang melibatkan kerumunan dan pemerintah. Pihak stakeholder memiliki tanggung jawab dalam mengontrol kerumunan agar tetap tertib dan kondusif. Sementara itu, pemerintah memiliki tanggung jawab dalam memberikan izin penyelenggaraan kegiatan dan regulasi terkait pelaksanaannya dengan mempertimbangkan kemungkinan naiknya kembali pasien Covid-19.
Dalam manajemen kebencanaan, kerumunan lebih sesuai diistilahkan sebagai ancaman bahaya (hazard). Hazard merupakan segala sesuatu yang dapat menyebabkan kerugian. Kerumunan yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan risiko bencana. Risiko dalam istilah manajemen kebencanaan adalah potensi kerugian yang ditimbulkan berdasarkan fungsi dari tingkat bahaya, kerawanan, kerentanan, serta kapasitas. Komponen kapasitas yang terkait dengan bahaya kerumunan dapat berupa sistem penyelenggaraan event yang baik dengan tempat yang memadai serta pemahaman masyarakat yang baik dalam mengondisikan diri di kerumunan. Peningkatan komponen kapasitas dapat menjadi salah satu upaya mitigasi. Rencana kontingensi diperlukan untuk merencanakan manajemen kebencanaan dari berbagai tahap, yaitu prabencana yang meliputi mitigasi dan kesiapsiagaan, tanggap darurat, hingga pascabencana yang meliputi rehabilitasi dan rekonstruksi. Tahapan pascabencana terkait kegagalan kontrol kerumunan yang telah terjadi dapat berupa pembangunan kembali fasilitas-fasilitas event baik dalam segi kelayakan maupun kapasitas, pemulihan kondisi fisik dan psikologis korban, serta evaluasi penyelenggaraan dan hukuman berat bagi tersangka yang ditetapkan.
0 Comments