Diskusi Eksternal EGSA bersama dengan ICCI UGM yang bertajuk “Menyelisik Imbas Perubahan Iklim terhadap Kenaikan Muka Air Laut dan Banjir Rob di Pesisir Utara Jawa” telah dilaksanakan pada Minggu, 18 Desember 2022 di Ruang B301 Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Diskusi ini diselenggarakan oleh Divisi Pengkajian Isu Global (PIG) EGSA yang bekerja sama dengan Divisi Studies ICCI UGM. Diskusi yang terbuka untuk umum ini dihadiri pula oleh perwakilan dari himpunan mahasiswa jurusan serta unit kegiatan mahasiswa yang ada di Fakultas Geografi.

Foto Suasana Diskusi Eksternal EGSA X ICCI UGM

Perubahan iklim merupakan permasalahan penting yang memberi ancaman serius secara global. Dampak dari perubahan iklim terasa lebih besar di negara berkembang dan negara kepulauan, salah satunya Indonesia. Indikasi terjadinya perubahan iklim salah satunya adalah kenaikan muka air laut. Semakin parahnya perubahan iklim yang terjadi menyebabkan kenaikan muka air laut menjadi lebih cepat. Laporan IPCC tahun 2021 menyatakan bahwa pada periode 2006—2018 terjadi kenaikan muka air laut sebesar 3,2—4,2 mm/tahun dengan rata-rata kenaikan 3,7 mm/tahun. Kenaikan muka air laut tersebut dapat memberikan dampak kepada lingkungan alam dan sosial di pesisir meliputi meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, perubahan arus laut, meluasnya kerusakan mangrove, serta mengancam kegiatan sosial ekonomi masyarakat pesisir.

Akan tetapi, banyak orang yang belum tahu dan paham akan perubahan iklim beserta dampaknya, khususnya pada kenaikan muka air laut sehingga upaya mitigasi belum dilakukan secara optimal. Oleh karena itu, Diskusi Eksternal dengan tema “Menyelisik Imbas Perubahan Iklim terhadap Kenaikan Muka Air Laut dan Banjir Rob di Pesisir Utara Jawa” diharapkan dapat menambah pengetahuan dan menumbuhkan sikap kritis terhadap pengaruh perubahan iklim, khususnya terhadap kenaikan muka air laut dan banjir rob.

Perairan sisi utara Pulau Jawa memiliki topografi dasar laut yang lumayan landai dan bergelombang relatif kecil serta berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Hal ini menyebabkan kawasan Pantai Utara Jawa (Pantura) rentan mengalami kenaikan muka air laut, gelombang ekstrem, kerusakan fasilitas karena banjir dan gelombang pasang, peningkatan sedimentasi, perubahan kecepatan aliran sungai, dan penurunan permukaan tanah.

Banjir rob bukanlah suatu peristiwa yang asing bagi wilayah kepulauan dan pesisir, termasuk di sepanjang wilayah utara Jawa. Akan tetapi, perubahan iklim yang memicu kenaikan permukaan air laut turut menambah perkara banjir rob ini. Keadaan diperparah dengan turunnya tanah atau land subsidence akibat eksploitasi airtanah di kawasan bertanah aluvial yang bersifat lunak dan belum kompak. Pekalongan adalah satu dari banyak kota yang secara geografis terletak di pesisir pantai utara dan termasuk dalam daerah yang terdampak oleh naiknya permukaan laut. Sebagai salah satu kota yang memiliki banyak macam industri mulai dari industri batik, peternakan, dan perhotelan, Pekalongan memerlukan pasokan air dalam jumlah besar. Pemerintah Kota Pekalongan mengandalkan airtanah untuk memenuhi kebutuhan industri dan rumah tangga. Hal ini menjadi masalah ketika airtanah dijadikan satu-satunya solusi, karena pengambilan airtanah yang berlebihan akan menyebabkan laju penurunan muka tanah yang semakin cepat. Muka tanah yang semakin rendah dan muka air laut yang semakin tinggi akan mengakibatkan air laut mengalir dan menutupi daratan yang lebih rendah.

Banjir rob sangat merugikan karena menenggelamkan lahan pertanian dan permukiman. Di Dusun Simonet contohnya, lebih dari 7 hektar lahan warga telah rata dengan permukaan air laut. Banjir rob juga mengganggu aktivitas warga dan tidak jarang menghambat mobilitas mereka. Beberapa sekolah bahkan mengizinkan siswanya untuk belajar dari rumah ketika air laut naik. Selain itu, air laut yang memiliki banyak kandungan garam juga merusak harta benda milik warga.

Untuk menangani permasalahan yang terjadi, pemerintah dan masyarakat perlu membentuk kerja sama yang baik dengan cara pembuatan kebijakan yang solutif dan fleksibel oleh pemerintah serta pelaksanaan aturan yang telah ditetapkan pemerintah oleh masyarakat. Pola pikir dan pandangan masyarakat terhadap bahaya bencana alam juga harus diperbarui, sehingga dapat mengurangi dampak dan kerugian yang ditimbulkan. Sejauh ini sebagai solusi jangka pendek Pemerintah Kota Pekalongan membuat tanggul untuk meminimalisir dampak banjir rob sambil mengupayakan alternatif lain untuk mengurangi penggunaan airtanah yang berlebihan. Namun, pembangunan tanggul dirasa kurang efektif untuk mengatasi permasalahan ini karena air bisa merembes melalui bawah tanggul. Beberapa pemerintah daerah lain juga menetapkan pajak penggunaan airtanah yang dengan kata lain merupakan biaya kompensasi perusakan alam. Dengan adanya pajak penggunaan airtanah sebesar 20% ini, kebutuhan akan airtanah dapat berkurang dan kerusakan alam dapat diperlambat bahkan dihentikan.

Akan tetapi, muncul keraguan dari masyarakat terkait pemanfaatan pajak airtanah tersebut. Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan bahwa pajak airtanah digunakan sebagaimana mestinya sesuai dengan tujuan utamanya. Harapannya, pajak airtanah dapat dioptimalkan penggunaannya untuk mengurangi penggunaan airtanah, menemukan substitusi air bersih lain sebagai pengganti airtanah, serta mengurangi dan memperbaiki dampak ekologis yang ditimbulkan oleh penggunaan airtanah yang berlebihan terutama mengurangi penurunan muka tanah.

Penyusunan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) tiap-tiap daerah juga perlu mempertimbangkan zonasi penurunan muka tanah secara lebih serius. Hal tersebut ditujukan agar penggunaan lahan ke depannya tidak memperparah penurunan muka tanah yang ada di Pantai Utara Jawa. Selanjutnya, RTRW yang sudah disusun juga perlu dilaksanakan dan diterapkan sesuai dengan rencana yang ada. Pembangunan-pembangunan yang ada harus sesuai dengan RTRW yang telah disusun.

Giant Sea Wall atau Tanggul Laut Raksasa menjadi salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah dan menanggulangi bencana rob di Jakarta. Termasuk dalam proyek ini adalah pembuatan tanggul di sepanjang pesisir, pembuatan reservoir besar untuk menyimpan air, dan reklamasi lahan. Akan tetapi, megaproyek yang dicanangkan imbas land subsidence yang diprediksi akan menenggelamkan Jakarta di tahun 2050 ini masih menuai pro dan kontra.

Tanggul Laut Raksasa yang telah direncanakan ini ditambah dengan pemindahan Ibukota ke Nusantara di Kalimantan membuat pandangan bahwa pemerintah hanya mementingkan dan memperhatikan Jakarta, padahal hampir semua wilayah di sepanjang Pantura memiliki permasalahan dan kemungkinan tenggelam yang sama. Berangkat dari alasan yang sama, pemerintah dirasa perlu untuk membuat kebijakan yang lebih masif dan merata. Penanganan masalah yang fokusnya masih bersifat kuratif seharusnya diubah menjadi preventif, yakni mengatasi bencana dari akar penyebabnya sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya banjir rob di kemudian hari.

Banjir rob di Pantai Utara Jawa merupakan bencana hasil kombinasi antara faktor alam berupa perubahan iklim yang mengakibatkan kenaikan muka air laut dan aktivitas manusia berupa penggunaan airtanah secara berlebihan yang mengakibatkan penurunan muka tanah. Upaya penanganan banjir rob di Pantai Utara Jawa memerlukan integrasi dan kolaborasi yang baik antara masyarakat dan pemerintah. Upaya tersebut dapat dimulai dengan mengubah pola pikir masyarakat mengenai bencana, membuat kebijakan yang tepat, serta merealisasikan kebijakan yang telah ditetapkan.


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.