Aurelia Suprestia Djuanto1), Jessica Aditya2)

1) Universitas Tarumanagara, 2) Universitas Tarumanagara

ABSTRAK

UNICEF melaporkan jika tidak ada akselerasi lebih lanjut, maka tujuan SDGs terkait kekerasan dan eksploitasi anak tidak akan terpenuhi tepat waktu. Pandemi Covid-19 menyebabkan anak kesulitan beradaptasi terhadap ‘situasi abnormal’ berkepanjangan. Jumlah laporan kasus kekerasan terhadap anak (KTA) di Indonesia meningkat cukup banyak dari tahun 2019, yaitu hingga hampir 50% di tahun 2020. Survei singkat dilakukan oleh Penulis dan hasilnya menunjukkan bahwa layanan pelaporan masih kurang dikenal oleh masyarakat, sehingga fasilitasi akses perlu digencarkan supaya pendeteksian dan penanganan kasus dapat dipercepat demi melindungi penerus bangsa. Penulis mengusungkan SPORA (Sosialisasi, Publikasi, Optimalisasi, dan RAtifikasi) sebagai strategi peningkatan akses layanan bantuan yang diharapkan dapat membantu menutup celah terjadinya kekerasan. SPORA diharapkan dapat mengakselerasi pencapaian tujuan SDGs, terutama pada pilar hukum dan tata kelola.

Kata Kunci : akses layanan bantuan, kekerasan terhadap anak, tujuan SDGs

Latar Belakang

Agenda Sustainable Development Goals (SDG) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah dijalankan sejak tahun 2015 oleh Indonesia. Salah satu tujuannya yakni untuk menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat yang mampu mempertahankan peningkatan kualitas hidup dari satu generasi ke generasi berikutnya (Bappenas, 2020). Namun, tujuan ini terancam karena dampak dari kebijakan pembatasan sosial yang mempengaruhi generasi penerus bangsa akibat Covid-19. Pada tahun 2030 mendatang, generasi muda saat inilah yang akan menginjak usia produktif. Maka dari itu, kesejahteraan anak Indonesia harus menjadi salah satu prioritas utama bagi negara.

Salah satu penyebab isu perlindungan anak selama pandemi Covid-19 adalah timbulnya rasa takut, bingung, serta kesulitan dalam beradaptasi terhadap ‘situasi abnormal’ yang berkepanjangan (UNICEF, 2020a). Kekerasan terhadap anak (KTA) tidak hanya dilakukan oleh orang tua, namun juga pengasuh, teman sebaya, pasangan, atau orang asing dan dapat berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan seumur hidup (World Health Organization [WHO], 2020). Berdasarkan Laporan UNICEF (2020b), dikatakan bahwa tidak ada SDGs terkait kekerasan dan eksploitasi anak (salah satunya target 16.2) yang dapat terpenuhi pada tahun 2030 jika tidak ada akselerasi lebih lanjut.

Menurut laporan survei UNICEF (2020c), sebanyak 491 juta anak berusia 0 hingga 17 tahun di Asia Timur dan Pasifik mengalami gangguan layanan terkait kekerasan akibat pandemi Covid-19. Kesulitan ini dapat menghambat proses pencapaian SDG tujuan 16 yaitu Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh (Bappenas, 2020). Keamanan anak di Indonesia juga terkena dampak dari pandemi Covid-19, dilihat dari jumlah kasus pengaduan KTA oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI, 2021) mengalami peningkatan cukup besar dari tahun sebelumnya, yaitu dari 4369 menjadi 6519 kasus di tahun 2020.

Dilaporkan oleh Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) (2021), bahwa jumlah kasus pada tahun 2020 turun sebesar 31% dengan kasus kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP) menempati posisi tiga teratas. Walaupun begitu, Komnas Perempuan menyatakan bahwa turunnya jumlah kasus diakibatkan dari belum siapnya model layanan dalam kondisi pandemi. Hal ini telah mengalami kemajuan di awal maret, saat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KemenPPPA, 2021a) meluncurkan hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA), guna mempermudah akses dan pelaporan langsung kejadian kekerasan terhadap perempuan dan anak. Layanan yang tersedia dinilai cukup membantu, tetapi penyebaran info mengenai SAPA harus ditinjau lebih lanjut. Maka dari itu, dibutuhkan strategi penyesuaian dan peningkatan layanan bantuan untuk melindungi anak korban kekerasan di Indonesia guna mengakselerasi proses pencapaian SDGs tahun 2030.

Pembahasan

KTA mencakup penganiayaan, intimidasi, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, dan kekerasan psikologis yang korbannya adalah anak berumur 18 tahun kebawah (WHO, 2020). Survei singkat yang dilakukan Penulis terhadap 52 mahasiswa Psikologi Universitas Tarumanagara menunjukan bahwa 86,5% responden belum mengetahui adanya pusat panggilan SAPA (lihat lampiran 5.1). Data ini sedikit menggambarkan fasilitasi akses pada layanan pelaporan kasus KTA tetap harus ditingkatkan guna menyesuaikan dengan perkembangan era pandemi yang tidak pasti. Layanan yang komprehensif dan baik tidak dapat digunakan secara maksimal apabila layanannya belum banyak diketahui masyarakat umum, serta akses menuju layanan cenderung sulit dijangkau. Alasan selanjutnya, yaitu agar dapat berdampak pada kecepatan pendeteksian dan penanganan kasus. Hal ini sangat esensial untuk dilakukan secepat mungkin karena tindakan kekerasan yang dialami seorang anak memiliki pengaruh masif terhadap perkembangannya (United Nations, 2017).

Untuk mendukung pemantapan strategi pencegahan dan mempermudah akses layanan pelaporan KTA di Indonesia, Penulis mengusungkan beberapa strategi peningkatan bernama SPORA, yang merupakan singkatan dari Sosialisasi, Publikasi, Optimalisasi, dan RAtifikasi (lihat lampiran 5.2). Strategi pertama (sosialisasi) berakar dari telah terwujudnya bentuk kerja sama antara UNICEF dan asosiasi mahasiswa kedokteran di Indonesia yang bertujuan untuk menormalisasi percakapan mengenai kesehatan mental sebagai bentuk dukungan psikologis (UNICEF, 2021). Penulis menyarankan untuk mengembangkan kerja sama ini dengan menambah beberapa bentuk sosialisasi pada anak: pengenalan bahaya kekerasan sejak dini, informasi mengenai layanan bantuan yang ada, dan cara anak melakukan peer support. Sosialisasi sejak dini diharapkan dapat mempercepat kewaspadaan anak dari tindak kekerasan supaya bisa menghindar dan kemudian mencari bantuan.

Strategi selanjutnya berupa menganjurkan pihak berwenang (pemerintah setempat, instansi pendidikan, dan sektor kesehatan) untuk melakukan publikasi mengenai literasi digital dan informasi layanan bantuan khususnya SAPA, secara lebih intensif melalui media massa (radio, surat kabar, dan televisi) dan platform digital lainnya (sosial media, Youtube, dan situs web). Selain itu, informasi dalam bentuk poster beserta kode QR dan nomor helpline disebarkan pada lingkungan terdekat anak terutama di sekolah, kantor RT/RW, dan puskesmas. Dengan terjangkaunya keberadaan layanan, diharapkan dapat mempermudah akses masyarakat untuk melaporkan kasus, sehingga lebih cepat terdeteksi.

Selain publikasi, diperlukan juga strategi optimalisasi kualitas situs landing page lembaga bantuan di Indonesia dengan cara mengubah tampilan dan pengalaman pengguna menjadi lebih informatif dan mudah digunakan (user-friendly). Semua landing page situs lembaga bantuan juga diharapkan untuk menyajikan emergency button yang gunanya untuk mempercepat pelaporan kejadian kekerasan. Selain itu, juga menambah fitur safe exit button untuk keluar dari situs jika pelapor merasa terancam. Dengan ini diharapkan dapat mempermudah akses pelaporan dan mempercepat proses tindak lanjut.

Terakhir, ratifikasi; Penulis menganjurkan pemerintah untuk mempercepat pengesahan RUU PKS (Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual). Menteri KemenPPPA berpendapat bahwa hukum yang sudah ada sekarang belum cukup untuk mencegah, melindungi, dan memulihkan penyintas kekerasan seksual. Hal ini dibuktikan dengan angka kasus kekerasan seksual yang selalu mendominasi kasus KTA yang dilaporkan melalui Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMPONI PPA) (Prasetia, 2021). Dengan demikian, RUU PKS dapat mempermudah akses keadilan para korban dan mengisi celah–contohnya dalam aspek pidana dan pemulihan, sehingga peraturan menjadi lebih paripurna (KemenPPPA, 2021b). SPORA tidak hanya membantu pencapaian strategi SDGs pada target 16.2 dan 16.3, tetapi juga dapat berdampak secara positif pada pilar lainnya terutama sosial dan ekonomi (target 5.2 dan target 5.3; serta pada target 8.7, lihat lampiran 5.3).

Kesimpulan

Dalam rangka mengakselerasi pencapaian SDGs di Indonesia, fasilitasi akses pada layanan pelaporan kasus kekerasan terhadap anak (KTA) harus digencarkan lagi. Layanan sebaik apapun tidak dapat digunakan secara maksimal apabila aksesnya masih sulit. Hal ini akan berpengaruh pada kecepatan pendeteksian dan penanganan kasus yang nantinya dapat menurunkan kualitas perkembangan anak sebagai penerus bangsa. Dengan demikian, Penulis mengusulkan strategi peningkatan bernama SPORA (Sosialisasi, Publikasi, Optimalisasi, dan RAtifikasi) yang bertujuan untuk membangun kesadaran dan kewaspadaan anak, persebaran informasi layanan bantuan yang lebih intensif, optimalisasi akses layanan bantuan, dan menguatkan hukum untuk meningkatkan layanan bantuan perlindungan anak. Dengan begitu, SPORA dapat membantu pencapaian strategi SDGs tujuan ke-16 dan secara tidak langsung membantu mencapai tujuan SDGs lainnya yang berkaitan dengan kesejahteraan anak.

Daftar Pustaka

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) (2020). Pedoman teknis penyusunan rencana aksi – tujuan pembangunan berkelanjutan / sustainable development goals (TPB/SDGs) (ed. ke-2). Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.http://sdgs.bappenas.go.id/wp-content/uploads/2020/10/Buku-Pedoman-Re ncana-Aksi-SDGs.pdf

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA). (2021a, Maret 8). Kemen PPPA luncurkan call center SAPA 129. Kemenpppa. https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/3085/kemen-pppa luncurkan-call-center-sapa-129

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA). (2021b, Juni 1). Isi celah hukum, dukung pengesahan RUU PKS. Kemenpppa. https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/3214/isi-celah-hukum-dukung-pengesahan-ruu-pks

Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan). (2021, Maret 5). Perempuan Dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan kekerasan seksual, kekerasan siber, perkawinan anak dan keterbatasan penanganandi tengah COVID-19. Komnasperempuan. https://komnasperempuan.go.id/uploadedFiles/1466.1614933645.pdf

KPAI R.N. (2021, Mei 18). Data kasus pengaduan anak 2016 – 2020. Bank Data Perlindungan Anak.https://bankdata.kpai.go.id/tabulasi-data/data-kasus-pengaduan-anak-2016- 2020

Prasetia, F. A. (2021, Juni 5). Terima laporan 3.122 kasus kekerasan anak, kemen PPPA pastikan penanganan secara utuh. Tribunnews.com. https://m.tribunnews.com/nasional/2021/06/05/terima-laporan-3122-kasus- kekerasan-anak-kemen-pppa-pastikan-penanganan-secara-utuh

United Nations. (2017, Desember 12). Violence against children. Sustainable Development Goals Knowledge Platform. Sustainabledeveloptment.un. https://sustainabledevelopment.un.org/topics/violenceagainstchildren

United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF). (2020a). Perlindungan Anak SaatPandemiCOVID-19.UNICEF. https://www.unicef.org/indonesia/media/5601/file/Perlindungan%20anak%20di%20tengah%20pandemi%20COVID-19.pdf

United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF). (2020b). Every child is protected from violence and exploitation. UNICEF. https://www.unicef.org/media/73766/file/GARR-2019-Goal-Area-3-2020. pdf.pdf

United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF). (2020c). Protecting Children from Violence in the Time of COVID-19: Disruptions in prevention and response services. UNICEF. https://www.unicef.org/media/74146/file/Protecting-children-from-violenc e-in-the-time-of-covid-19.pdf

United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF). (2021). Indonesia   annua report2020.UNICEF.https://www.unicef.org/indonesia/media/9966/file/UNICEF%20Annual%2 0Report%202020.pdf

World Health Organization (WHO). (2020, Juni 8). Violence against children. WorldHealthOrganization.https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/violence-against-children

Lampiran

5.1 Hasil Survei Total Responden yang Mengetahui SAPA

5.2 Ilustrasi SPORA

5.3 Tabel Target SDGs

Target

Isi

5.2

Penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.

5.3

Penghapusan semua praktik berbahaya, seperti perkawinan usia anak, perkawinan dini dan paksa, serta sunat perempuan.

8.7

Mengakhiri pekerja anak, termasuk perekrutan dan penggunaan tentara anak.

16.2

Menghentikan perlakuan kejam, eksploitasi, perdagangan, serta segala bentuk kekerasan dan penyiksaan terhadap anak.

16.3

Mempromosikan supremasi hukum di tingkat nasional dan memastikan akses keadilan yang rata.


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.