Drama Korea Hometown Cha-Cha-Cha yang dibintangi Shin Min-Ah, Kim Seon-Ho, dan Lee Sang-Yi masih menjadi perbincangan hangat dan digemari sehingga menjadi serial populer di Indonesia. Berdasarkan data Flixpatrol per 20 Januari 2022, serial ini masih bertengger di posisi Top 10 TV Show Netflix Indonesia meskipun sudah lebih dari tiga bulan mengakhiri penayangan. Berlatar di desa fiktif Gongjin yang terletak di pesisir pantai, dinamika kehidupan para tokoh dimulai dengan pertemuan dokter gigi Yoon Hye-Jin dan Hong Du-Sik yang serbabisa. 

Salah satu unsur menarik dalam pengembangan cerita dan karakter tokoh utama dalam drama ini adalah kegemaran membaca dan mengoleksi buku oleh Hong Du-Sik atau biasa dikenal dengan sebutan Hong Banjang (Kepala Hong). Hal ini tampak dari latar rumah yang dipenuhi jejeran buku di samping koleksi kamera antik untuk hobi fotografinya. Koleksi buku yang beragam tersusun rapi dalam rumah yang ia desain dan kerjakan sendiri.

Gambar 1. Koleksi buku karakter Hong Du-sik di Drama Hometown Cha-Cha-Cha

Sumber:Instagram.com/hanible.photography

Narasi dalam buku kerap digunakan untuk memperkuat pengembangan cerita dalam drama. Narasi tersebut dapat menjadi media untuk menyampaikan pesan tersirat dari tokoh kepada pemirsa. Beberapa judul buku yang muncul di serial ini antara lain Walden, What Men Live By, dan La Cantratrice Chauve. Walden muncul dalam dua scene di beberapa episode awal drama Hometown Cha-Cha-Cha. Buku ini dibawa Du-Sik saat ia  pergi memancing sambil duduk di bebatuan dekat laut, dan scene lain saat ia berada di rumah.

Gambar 2. Cuplikasn karakter Hong Du-Sik membaca buku Walden.

Sumber: Netflix

Keberadaan buku Walden mampu memunculkan rasa penasaran terhadap teka-teki keputusan jalan hidup yang dipilih Dusik. Sebagaimana diketahui, Dusik merupakan seorang jenius lulusan Departemen Teknik Universitas Negeri Seoul, salah satu universitas terbaik di Korea Selatan. Namun, ia memilih untuk bekerja serabutan dan kembali ke kampung halamannya. Keganjilan ini masuk ke dalam tiga misteri besar di Desa Gongjin.

Lalu apa sih yang menarik dari buku Walden ini?

Gambar 3. Buku Walden karya Henry David Thoreau terjemahan Bahasa Indonesia.

Sumber: open access perpusnas

1.     Berkisah tentang pengalaman pencarian kebutuhan hidup

Walden merupakan memoar terbitan 1854 karya penulis transendentalis asal Amerika, Henry David Thoreau. Thoreau menghabiskan dua tahun hidupnya dengan membangun pondok untuk dirinya sendiri pada rentang 1845-1847 di dekat Danau Walden, sebuah area rural di Concord, Massachusetts. Eksperimen ini mengantarkannya pada perjalanan spiritual untuk menemukan makna hidup sederhana, kemandirian, dan kebijaksanaan melalui kehidupan yang dikelilingi langsung dengan alam.

Dalam buku ini, Thoreau tidak hanya seolah menuliskan jurnal eksperimen kehidupan alam sekitarnya,  Buku ini juga berisi pesan moral, satire, kritik, gagasan, dan sajak-sajak. Buku ini menceritakan kepuasan dan refleksi atas keinginan untuk menikmati hidup yang sederhana.

1.     Mengusung ide hidup sederhana, mandiri dan berbaur dengan alam.

Konsep sederhana dalam Walden tampak dalam hal sandang, pangan, papan, maupun siklus hidup. Thoreau membangun pondok dengan usahanya sendiri. Pendapatannya ia peroleh dari  mengerjakan pekerjaan domestik seperti mengolah ladang, termasuk dengan mengukur tanah dan mengolah kayu. Sumber makanannya juga ia peroleh dari hasil memancing dan kebunnya sendiri.

Konsep sederhana dalam hal berpakaian juga diusung Thoreau. Hal ini dapat menjadi kritik atas perkembangan dunia fesyen dan maraknya aktivitas belanja daring dewasa ini. Ia menuturkan bahwa yang utama dari pakaian adalah untuk pertahanan tubuh dari suhu luar, dan untuk menutupi bagian-bagian vital.

Jika dicermati, hal ini mengingatkan kita pada adegan episode tiga saat Du-Sik mengantarkan setumpuk paket pesanan daring milik Hye-Jin berupa pakaian yang beragam jenis. Du-Sik menilai bahwa tindakan Hye-Jin adalah suatu bentuk pemborosan, dan bahwa yang terpenting dari pakaian adalah fungsionalitasnya. Karakter Du-Sik yang hemat dan sederhana juga ditunjukkan dengan  pakaian Du-Sik yang tidak hanya sekali pakai. Detail yang demikian realistis menambah nilai plus dari drama ini.

Satu ha lagi yang menarik dari Walden adalah detail keberagaman biogeografi di Danau Walden . Hal ini disajikan dalam satu bab khusus berjudul Hewan di Sekitar. Deskripsi kompleks tentang ini menggugah ketertarikan untuk dibaca ulang. Beberapa flora dan fauna yang disebut dalam bab ini antara lain tanaman sweet fern, sumach,  dan sweet brier,. Adapun jenis-jenis burung berupa burug phoebe, burung loon, dan burung partridge

Pesan utama Walden yang ditulis Thoreau sarat akan makna hidup sederhana, independen, dan bijaksana. Petualangannya untuk hidup jauh dari hingar bingar perkotaan yang dinamis mengantarkannya kepada arti hidup yang sesungguhnya. Berinteraksi langsung dengan alam  memberinya pengalaman spiritual baru yang tidak ia dapatkan di kota.

             Dilansir dari laman Single List Korea, Shin Ha-Eun sebagai penulis naskah juga menuturkan bahwa sikap hidup dalam Walden adalah “Menjadi penguasa yang teguh dalam hidup”, mirip dengan karakter Hong Du-Sik.  Du-Sik menjadi penguasa untuk hidupnya dengan memutuskan sendiri kapan waktu bekerja dan waktu ia libur. Hong Du-Sik adalah seseorang yang tidak berpaku pada nilai material dalam hidup, ia senang hidup secara sukarela dengan upah minimum. Dengan membaca buku Walden kita dapat sedikit lebih jauh memahami karakter unik Hong Du-Sik dan nilai-nilai hidup di dalamnya.

Kita dapat melihat similaritas karakter Hong Dusik abad ke-21 dan Henry David Thoreau di abad ke-19 yang optimis dan yakin dengan jalan hidup yang mereka pilih. Tidak ada salahnya kita mencoba untuk menjadi berbeda dibandingkan yang lain. Beberapa orang puas dengan satu hal, dan beberapa dengan hal lain. Tentu dalam buku ini terdapat beberapa hal yang sudah tidak relevan karena kondisi zaman yang berubah secara dinamis. Namun, nilai-nilai dasar tersebut tetap dapat dipertahankan.

             Makna ini yang juga dapat kita petik sebagai seorang geograf. Kita tidak harus mengasingkan diri ke dalam hutan dan membangun pondok dekat Danau Walden untuk bisa memaknai hidup sederhana, independen, dan bijaksana sebagai seorang geograf. Mulailah dari yang terdekat. Dengan mengamati lingkungan sekitar, intuisi sebagai seorang geograf dapat terus dilatih. Fenomena- fenomena fisik maupun sosial yang terjadi dapat kita kaji untuk menghasilkan suatu simpulan dan informasi baru.

 Kita dapat menerapkan dasar-dasar pertanyaan ilmiah seperti apa, kapan, di mana, siapa, mengapa, dan bagaimana. Sebagai contoh, ilmu-ilmu dasar seperti Geologi, Meteorologi, Hidrologi, dan Geografi Manusia dapat menjadi pengantar untuk mengetahui karakteristik wilayah di lingkungan tempat kita tinggal. Dengan demikian, kita dapat memahami potensi dan memberikan solusi atas permasalahan yang terjadi.

Thoreau juga menyebutkan bahwa dengan berpikir, ide-ide yang muncul dapat membentengi kita, dari perbuatan buruk dan konsekuensinya. Sumbangsih upaya, kerja keras, dan pemikiran kita dapat berkontribusi untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan pembangunan di sekitar kita. Kita bisa meneladani Hong Banjang yang peka, humanis, dan dapat berguna untuk lingkungan sekitar. Kita juga bisa menjadi Hong Banjang untuk diri kita sendiri.

Penulis:

Zahwa Uswatul Hikmah

Referensi

Flixpatrol. (2022, Januari 20). Hometown Cha-Cha-Cha. Diambil kembali dari Flixpatrol: https://flixpatrol.com/title/hometown-cha-cha-cha/

Seok, J. (2021, Agustus 31). The Meaning of The Book “Walden’ by Kim Seon-Ho of Hometown Cha-Cha-Cha. Diambil kembali dari Single List Korea: http://www.slist.kr/news/articleView.html?idxno=281679

Thoreau, H. D. (2018). Walden. Yogyakarta: Penerbit Basabasi.


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.