Beberapa bulan sebelum terjadinya pandemi, pendakian gunung sedang tren di kalangan kawula muda. Pendakian gunung bukan hanya soal seni ‘menaklukan’ medan yang curam demi mencapai puncak gunung, lalu kemudian berswafoto agar diketahui khalayak banyak lewat media sosial. Tak sedikit anak muda yang memaknai pendakian gunung sebagai ‘jalan hidupnya untuk memaknai lebih dalam tentang kehidupan, atau hanya sekadar mengenal dirinya sendiri’ (Prastowo & Al Rasyid, 2019). 

Menurut MacCannell (1999), kegiatan pendakian adalah upaya penaklukan diri sendiri dari kalangan leisure class (kelas masyarakat yang memiliki kelebihan) untuk menikmati hidup dengan cara mendekat kepada alam. Namun, di zaman seperti sekarang, bukan hanya leisure class yang menikmati alam dengan cara mendaki, tetapi juga datang dari berbagai kalangan dengan beragam tujuan. Walaupun pendakian gunung seringkali memakan korban jiwa, tetapi tidak menurunkan hasrat para pemuda khususnya untuk menaklukan puncak-puncak gunung.  

Fenomena pendaki yang hanya ingin mengikuti tren, tak luput dari sorotan penambahan korban jiwa yang relatif besar akibat kelalaian. Kode etik pendakian yang sering diabaikan menyebabkan tingginya pencemaran di sekitar gunung. Adapun akibat buruknya persiapan, baik fisik maupun materi menjadi penyebab utama banyaknya korban jiwa. Terlebih lagi untuk kalangan pemula yang naik gunung secara asal-asalan, tanpa panduan tepat yang menyebabkan banyak resiko dari sisi alam maupun individu. Sifat individual maupun egois, sudah selayaknya tidak ditanam dalam diri para pendaki karena dapat berakibat buruk. 

Pengalaman mendaki gunung maupun melihat dari berbagai media terkait kegiatan pendakian, menjadi daya tarik tersendiri bagi pegiat kegiatan alam, seperti mountaineering (kegiatan yang berkaitan dengan gunung). Mirisnya pendaki yang abai terhadap kode etik, menjadi permasalahan bersama karena dampak yang ditimbulkan bukan hanya terhadap individu, tetapi universal, baik alam maupun manusianya. Pendaki pemula yang melakukan pendakian karena ikut tren, faktanya sedang marak belakangan ini. Kurangnya pengetahuan dari mereka terkait kepencintaalaman maupun kegiatan pendakian menjadi titik fokus timbulnya berbagai permasalahan. 

Vandalisme berupa coret-coretan di batuan, papan peringatan, dan sebagainya, tidak seharusnya dilakukan karena mengganggu keindahan maupun kealamian dari objek alam tersebut. Kegiatan ilegal seperti pemetikan bunga Edelweiss, di mana flora tersebut tergolong langka juga menjadi permasalahan. Berbagai alasan yang dilontarkan oleh para pendaki, tentu tidak dapat dibenarkan. Bunga Edelweiss pun sebenarnya sudah mulai dibudidayakan oleh masyarakat sekitar Bromo yang diperjualbelikan sebagai buah tangan ketika berlibur di Bromo, sehingga masyarakat tidak perlu memetik secara ilegal bunga tersebut. 

Dampak lainnya yang terkait dengan keselamatan pendaki, yaitu hipotermia. Beragam sebab yang terjadi, hipotermia harus selalu diwaspadai karena berakibat pada kematian. Kurangnya perlengkapan ketika melakukan pendakian, ketidaksiapan fisik, serta minimnya pengetahuan yang dimiliki oleh pendaki pemula, berakibat pada kesulitan mereka untuk mengatasi permasalahan ataupun menangani kendala yang muncul saat turun langsung ke medan pendakian. Semangat mereka untuk menggapai puncak yang tidak diimbangi dengan pengetahuan terkait kondisi alam, juga dapat berakibat buruk. Misalnya, ketika kabut turun cukup tebal, tidak seharusnya melanjutkan perjalanan karena jarak pandang yang dekat, sehingga dapat berakibat tersesat. Sikap individual ataupun egois seharusnya tidak ada di dalam jiwa para pendaki karena dapat berakibat fatal. Solidaritas harus dipupuk sejak awal, di mana ketika naik bersama, turun juga harus bersama tanpa kurang satu anggota pun, sehingga sifat sabar juga harus ditanamkan. 

Kegiatan pendakian gunung yang sedang tren menjadi salah satu sarana kebugaran untuk memenuhi kebutuhan olahraga sekaligus rekreasi yang mana kegiatan ini tentunya turut terdampak pandemi COVID-19. Sebelum pandemi, setiap pendaki harus paham mengenai pengetahuan serta seni dalam melakukan pendakian gunung apalagi ketika melakukannya pada masa pandemi seperti ini karena diperlukan tambahan pengetahuan yang terkait dengan protokol kesehatan. Protokol dan prosedur pendakian untuk mengurangi risiko COVID-19 difasilitasi oleh APGI (Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia) dimana tujuannya adalah untuk membantu dan menjaga menjaga para pemandu, porter dan wisatawan pendaki agar tetap aman beraktivitas pada masa pandemi COVID-19. Beberapa protokol wisata pendakian gunung pada masa pandemi menurut APGI (2020) antara lain mendaki dalam kelompok regu kecil yakni 3-4 orang, tetap menjaga kesehatan selama pendakian, membawa dan memakai masker saat berinteraksi dengan orang lain, tetap menjaga tubuh dan peralatan pribadi dalam keadaan bersih (mencuci/menggunakan hand sanitizer, jaga jarak pada saat melakukan tracking, menghindari pinjam-meminjam barang dengan orang lain, mengurangi kapasitas tenda hingga 50%, menghindari kegiatan kebersamaan pada saat di area tenda, dan memahami berbagai risiko yang mungkin dihadapi saat di lapangan. 

Pendakian harus dipersiapkan dengan baik, misalnya memakai pakaian dan perlengkapan pendakian yang memadai, serta membawa obat-obatan pribadi. Pengetahuan yang cukup dan sikap ketika mendaki disertai kode etik yang mumpuni sangat diperlukan. Persiapan fisik tidak luput dari catatan untuk melakukan pendakian, supaya kegiatan pendakian dapat berjalan lancar dan tidak membebani rekan satu tim. Selain itu, para pendaki pemula sebenarnya juga dapat meminta bantuan dari relawan, polisi hutan, atau pemandu untuk menemani pendakian. Keselamatan sangatlah penting di dunia pendakian, terlebih lagi di saat pandemi, di mana prokes harus tetap dijaga, anjuran dari tim gunung harus ditaati, serta apabila ada penutupan gunung harus patuh untuk tidak melakukan pendakian ‘jangan ngeyel’. Pengalaman pendakian bukan dari puncaknya, tetapi dari perjalanannya. Jangan mengambil apapun, kecuali foto, dan jangan meninggalkan jejak apapun, kecuali jejak kaki dan jejak kenangan eaaa!!! 

Penulis :

Putri Ayu Isnaini

DAFTAR PUSTAKA

MacCannell, D. (1999). The Tourist: A New Theory of the Leisure Class. Los Angeles: University of California Press.

Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia. (2020). Protokol dan Panduan Operasional Kepemanduan Wisata Gunung Pada Masa Pandemi COVID-19. Tangerang: APGI.

Prastowo, F. R., & Al Rasyid, A. H. (2019). Nasionalisme di Puncak Gunung: Etnografi Komunitas Pemuda Pecinta Alam dalam Wacana Ecosophy dan Gerakan Lingkungan di Malang. Jurnal Studi Pemuda Volume 8 Nomor 2, 118-126


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.