Pulau Jawa sebagai sebuah pulau yang dekat dengan zona subduksi Lempeng Eurasia dan Indo-australia sering diguncang gempabumi yang terkadang dapat memicu Tsunami. Selain itu, Pulau Jawa juga mempunyai jumlah dan kepadatan penduduk yang tinggi sehingga akan sangat beresiko apabila terjadi bencana. Hal tersebut menjadi latar belakang penelitian yang dilakukan oleh Tim peneliti ITB berupa pemodelan apabila terjadi gempa pada seismic gaps. Seismic Gaps  merupakan  wilayah di sepanjang batas lempeng aktif yang tidak mengalami gempa besar atau gempa selama lebih dari 30 tahun. (McCann et al., 1979) Seismic gap perlu diwaspadai karena  dapat berpotensi menimbulkan gempa besar, dan biasanya terjadi dengan periode ulang 400 tahun. 

Gambar 1. Peta titik-titik gempa sebelumnya di selatan Pulau Jawa. Seismic gaps ditunjukkan oleh polygon berwarna merah muda. (Widiyantoro et al., 2020)

Subduksi Lempeng Benua dan Samudera

Indonesia terletak di antara tiga lempeng, yakni lempeng samudra pasifik, lempeng indo-australia dan lempeng benua Eurasia. Arah gerakan dan kecepatan lempeng tersebut menunjukkan gerakan yang berbeda. Lempeng samudra pasifik bergerak ke arah barat-barat laut dengan kecepatan 10 cm/tahun, lempeng indo-australia bergerak kearah utara-timur laut dengan kecepatan 7 cm/tahun dan lempeng benua Eurasia yang menunjukkan resultan system kinematiknya menuju arah barat daya dengan kecepatan 13 cm/tahun. 

Gambar 2. Skema melintang Jawa (Katiri, 1974)

Ketiga lempeng tersbut saling berinteraksi. lempeng Indo-Australia terus aktif menunjam ke bawah lempeng Eurasia dan kemiringan dari batas penunjamannya sekitar 12  ke arah timur (Prawirodirdjo, 2000). Penunjaman tersebut  disebabkan oleh sifat lempeng indo-australia yang memiliki kepadatan material yang lebih tinggi dan elemen-elemen zat pada lempeng samudra yang lebih berat dibanding lempeng benua Eurasia. Sehingga,ketika terjadi tumbukan antar lempeng, maka lempeng yang berat jenisnya lebih tinggi atau massanya lebih besar (Lempeng Indo-Australia), akan menujam ke bawah lempeng yang lebih ringan (Lempeng Eurasia).  Ketiga lempeng tersebut memiliki bidang batas lempeng yang sama yaitu bidang batas konvergen yang membentuk zona subduksi. Ciri khas zona subduksi adalah terbentuknya palung laut. Palung laut yang berhadapan langsung dengan pantai selatan Jawa adalah palung Jawa yang merupakan hasil subduksi lempeng Eurasia dan Indo-Australia (Indriana, 2008).

Saat lempeng samudera terdorong ke bawah lempeng benua terjadi gesekan yang menghambat terdorongnya lempeng samudera, perlambatan gerak tersebut menyebabkan adanya akumulasi energi di zona subduksi. Akumulasi energy tersebut menyebabkan terjadinya tekanan dan regangan yang sifatnya temporal dan spasial di zona subduksi. Terjaidnya suatu kondisi di zona tersebut dimana bidang temu antar lempeng terkunci (locked zone) maka akumulasi energi tekanan atau tarikan yang telah melewati batas elastisitas menyebabkan lempeng yang bertemu akan melepaskan energy. Pelepasan energy tersebut menimbulkan kegempaan (seismisitas). Efektivitas gaya gesek yang terjadi pada zona subduksi dipengaruhi oleh faktor sifat fisis material, keberadaan fluida, kekasaran seafloor, geometri slab, suhu dan tekanan (Setiawan, 2015).

Adanya subduksi tersebut berdampak pada penurunan sisa lempeng lautan yang membentuk suatu cekungan geosinklin yang terisi sedimen (Indriana, 2008). Selain itu, terdapat beberpa sesar utama yang membentuk kelurusan gugusan dan membentuk gunung api aktif dan non aktif. Skema tersebut menunjukkan penampang melintang subduksi dan busur pulau Jawa. 

Besaran Tsunami dan Pemodelan

Berdasarkan hasil penelitian oleh tim peneliti ITB, potensi terjadinya tsunami yang terjadi di selatan Jawa bisa mencapai ketinggian maksimal 20 m dan 12 m dengan rata-rata ketinggian 4,5 m di sepanjang pantai selatan Jawa. Hasil tersebut merupakan hasil pemodelan dengan skenario terburuk yang melibatkan pemodelan gempa megathrust pada seismic gaps. Pemodelan menggunakan data-data gempa dan tsunami sebelumnya.

Gambar 3. Hasil pemodelan tsunami (Widiyantoro et al., 2020)
Gambar 4. Hasil pemodelan tsunami berdasarkan skenario 1 (gempa pada segmen jawa Barat 8.9 Mw) dan skenario 2 (Gempa pada segmen Jawa Timur dan Jawa tengah 8,8 Mw) (Widiyantoro. et al., 2020)
Gambar 5. Hasil pemodelan ketinggian maksimum tsunami (Widiyantoro. Et all, 2020)

Hasil pemodelan tsunami berdasarkan slip deficit / kelebihan hasil dari data GPS pada skenario 1 dijelaskan ketinggian tsunami yang dihasilkan di sepanjang pantai selatan Jawa kemungkinan besar terjadi di wilayah antara 105 ° dan 106 ° BT yaitu di pulau-pulau kecil yang terletak ~ 11 hingga 15 km dari garis pantai terdekat dengan ketinggian 20,2 m. Skenario ini menghasilkan ketinggian tsunami rata-rata 3,23 m di sepanjang pantai selatan Jawa. ketinggian tsunami maksimum 11,7 m dapat terjadi pada 113,65 ° BT di sepanjang pantai selatan Jawa Timur. Zona retakan yang luas di wilayah ini telah menghasilkan ketinggian puncak tsunami yang hampir sama di sepanjang pantai antara 110 ° BT dan 114 ° BT dibandingkan dengan lebih jauh ke barat, tetapi dengan ketinggian tsunami rata-rata yang lebih rendah dari 2,43 m. Hasil penelitian tersebut merupakan potensi dan skenario terburuk yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan mitigasi bencana. 

Paleotsunami Jawa

Sebagai sebuah pulau yang dekat dengan zona subduksi Lempeng Eurasia dan Indo-australia, Jawa berungkali diguncang gempabumi yang dapat saja memicu Tsunami. Oleh karenanya, kejadian Tsunami tentu bukanlah hal yang baru, tetapi sudah terjadi berkali-kali dalam sejarah bumi. Hanya saja, kejadian gempabumi dan tsunami di Indonesia baru tercatat dengan baik setelah abad ke-17 (Newcomb & McCann, 1987). Untuk melengkapi catatan kejadian dan mengetahui karakteristik tsunami di Indonesia, khususnya Jawa, dapat dilakukan studi paleotsunami.

Di Lebak, Banten diidentifikasi dua lapisan Paleotsunami yang diketahui berdasarkan keterdapatan lapisan pasir di antara lapisan gambut (Putra et al., 2015). Di Pangandaran dijumpai tiga lapisan Paleotsunami (Putra et al., 2015). Endapan tsunami tertua di kedua tempat tersebut berumur 600 – 300 tahun yang lalu.

Gambar 6. Stratigrafi pada inti bor di rawa di daerah Lebak, Banten, menunjukan dua lapisan Paleotsunami Sumber: Putra et al., 2015
Gambar 7. Stratigrafi pada inti bor di persawahan di daerah Pangandaran, menunjukan tiga lapisan Paleotsunami. Sumber: Putra et al., 2015

Endapan Tsunami yang dijumpai di Teleng, Pacitan dan Prigi, Trenggalek diidentifikasikan sebagai endapan Paleotsunami yang terjadi pada 1921 dan 1930 (Anugrah et al., 2015). Penemuan endapan Paleotsunami pada tahun-tahun tersebut didukung dengan katalog tsunami BMKG yang mencatat kejadian tsunami pada 1921 dan 1930 dengan magnitudo beturut-turut 7.8 dan 6.5. 

Gambar 8. Endapan yang diduga endapan Paleotsunami (lapisan dengan rona cerah) dijumpai di Teleng, Pacitan. Sumber: Anugrah et al., 2015
Gambar 9. Singkapan yang menunjukan endapan Paleotsunami di Prigi, Trenggalek Sumber: Anugrah et al., 2015

Endapan Tsunami dijumpai di Karapyak, Pangandaran dengan ketebalan 5 – 6 cm di bagian atas dan 5 – 10 cm di bagian bawah (Yudhicara et al., 2013). Endapan Tsunami di bagian atas merupakan produk dari Tsunami Pangandaran 2006 dan endapan di bagian bawah merupakan endapan Paleotsunami. Endapan tersebut dicirikan dengan karakteristik ukuran butir dan dijumpainya fosil planktonic dan benthic foraminifera.

Gambar 10. Kandidat endapan Paleotsunami di Karapyak, Pangandaran. Sumber: Yudhicara et al., 2013

Tidak hanya terjadi pada masa kini, tsunami juga pernah terjadi pada Periode Neogen (Tersier). Endapan Paleotsunami berusia Akhir Miosen – Awal Pliosen (5.33 – 3.6 juta tahun yang lalu) dijumpai di Tegal Buleud, Sukabumi Selatan, Jawa Barat (Rizal et al., 2019). Di wilayah tersebut, dijumpai empat lapisan endapan Paleostsunami yang dijumpai dalam bentuk perselingan tipis di lapisan batulempung Formasi Bentang. Endapan tersebut dicirikan dengan struktur tak beraturan yang ada pada lapisan batupasir berstruktur perlapisan gradasi normal.

Daya Lenting Masyarakat Terhadap Tsunami Pantai Selatan Jawa

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan bahwa megathrust di selatan Jawa berpotensi menghasilkan tsunami dengan ketinggian maksimum hingga 20 meter sehingga diperlukan kesiapsiagaan masyarakat yang berpotensi terdampak. Resilience atau daya lenting masyarakat perlu diperhatikan dan ditingkatkan guna menghadapi kemungkinan terjadiya bencana sehingga masyarakat dapat tetap bertahan hidup bila terjadi bencana. UNISDR (2009) menyatakan bahwa resilience atau daya lenting merupakan kemampuan sebuah sistem, komunitas, atau masyarakat yang terpapar oleh bahaya untuk dapat mengakomodasi, meredam, melawan dan bangkit dari dampak yang ditimbulkan oleh suatu bahaya secara singkat dan efisien, termasuk dalam menempuh tahap pelestarian dan pemulihan struktur dan fungsi dasar yang dimiliki. Dengan demikian, diperlukan kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana.

Pantai di wilayah Selatan Jawa harus dilihat berbeda karena rawan gempa dan tsunami. Masyarakat perlu meningkatkan literasi, pemerintah juga harus berkelanjutan memberi edukasi dan memperkuat mitigasi. Jarak permukiman masyarakat juga harus menjauhi pantai. Minimal 200 meter hingga 1 kilometer dari bibir pantai. Hal ini dimaksudkan agar mengurangi dampak bencana tsunami

Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Eko Yulianto menyebut, potensi itu sudah pernah dikemukakan. Aspek penting pertama yang harus dikelola adalah tata ruang wilayah pantai. “Kita mestinya bisa belajar dari kasus tsunami Selat Sunda dan Palu tahun 2018. Kedua tsunami ini terhitung tsunami kecil yang gelombangnya hanya mencapai sekitar 200 meter dari garis pantai,” kata Eko.

Dalam bidang resilience, diperlukan pengetahuan mengenai respon atau tanggapan saat terjadinya bencana tsunami. Selain itu, diperlukan pula Kerjasama oleh berbagai pihak dalam menyukseskan hal tersebut. US Indian Ocean Warning System Program (2007) menyatakan behwa terdapat 8 elemen resilience sebagai berikut:

1.     Tata Kelola

Kepemimpinan pemerintah, dasar hukum, kelembagaan

2.     Ekonomi dan masyarakat

Komunitas masyarakat terlibat dalam lingkungan yang memerhatikan keberlanjutannya terhadap penanganan bencana

3.     Manajemen sumberdaya pesisir

Manajemen sumberdaya pesisir yang aktif dalam menjaga keberlanjutan lingkungan pesisir guna mengurangi risiko bencana

4.     Penggunaan lahan dan desain bangunan

Penggunaan lahan dan pembentukan struktur bangunan yang memerhatikan dampak lingkungan, ekonomis, dan dapat berperan sesuai fungsinya

5.     Pengetahuan risiko

Pengetahuan mengenai risiko bagi pemimpin maupun angguta komunitas masyarakat

6.     Peringatan dan evakuasi

Masyarakat mampu menerima pemberitahuan mengenai mencana yang akan dating dan bertindak siap siaga

7.     Respon darurat

Mekanisme dan jaringan yang dapat merespon secara cepat pada saat bencana

8.     Pemulihan pascabencana

Perencanaan pemulihan guna mempercepat pemulihan bencana dengan melibatkan komunitas dalam proses pemulihan, dan minimalkan dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi yang negatif.

Kedelapan poin elemen tersebut merupakan pondasi dari terciptanya sistem resilience yang baik guna meningkatkan kesiapan masyarakat terhadap kemungkinan bencana yang terjadi. Masyarakat tidak perlu panik oleh hasil penelitian tersebut, yang penting dilakukan adalah tetap waspada, siaga, dan perkuat mitigasi bencana. 

REFERENSI

Anugrah, S. D., Zaim, Y., Rizal, Y., Aswan, & Istiyanati. (2015). A preliminary study of paleotsunami deposit along the south coast of East Java: Pacitan-Banyuwangi. doi:10.1063/1.4915251

CNN Indonesia. 2020. Cara aman hadapi Tsunami Megathtust 20 Meter Selatan Jawa. https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20200929113533-199-552177/cara-aman-hadapi-tsunami-megathrust-20-meter-selatan-jawa

Indriana, Rina Dewi. 2008. Analisis Sudut Kemiringan Lempeng Subduksi di Selatan Jawa Tengah dan Jawa Timur Berdasarkan Anomali Gravitasi dan Implikasi Tektonik Vulkanik. Jurnal Berkala Fisika, vol. 11(3). Hal : 89-96.

Putra, Purba Sulastya., Yulianto, Eko., Praptisih, Supriatna, Nandang., Trisuksmono, Djoko., Amar., Nurhidayati, Ayu Utami., Ridwan, Januar., Griffin, Jonathan. 2015. Studi Paleotsunami di Selatan Jawa. Pemaparan Hasil Penelitian Geoteknologi 2015.

Rikin, A. 2020.  Potensi Tsunami Megathrust Kelola dan Perkuat Mitigasi Serta Tata Ruang.

https://www.beritasatu.com/jaja-suteja/nasional/681529/potensi-tsunami-megathrust-kelola-dan-perkuat-mitigasi-serta-tata-ruang

Rizal, Y., Aswan, A., Zaim, J., Puspaningrum, M. R., Santoso, W. D., & Rochim, N. (2019). Late Miocene to Pliocene Tsunami Deposits in Tegal Buleud, South Sukabumi, West Java, Indonesia. Modern Applied Science, 13(12), 80. doi:10.5539/mas.v13n12p80

Setiawan, Muhamad ragil dan Ari Setiawan. 2015. Pemodelan Struktur Bawah Permukaan Zona Subduksi dan Busur Gunungapi Jawa Timur berdasarkan Analisis Data Gravitasi. Jurnal Fisika Indonesia, vol. 19(57). Hal : 13-18.

U.S. Indian Ocean Tsunami Warning System Program. 2007. How Resilient is Your Coastal Community? A Guide for Evaluating Coastal Community Resilience to Tsunamis and Other Coastal Hazards. U.S. Indian Ocean Tsunami Warning System Program supported by the United States Agency for International Development and partners, Bangkok, Thailand. 144 p.

Widiyantoro, S. Gunawan, E. Muhari, A. Rawlinson, N. Mori, J. Hanifa, N R. Susilo, S. Supendi, P. Shiddiqi, H A. Nugraha, A. D. Putra, H. E. (2020). Implication for Megathrust Earthquakes and Tsunamis from Seismic Gaps South of Jawa Indonesia. Scientific Report Nature Research, 10: 15274

Yudhicara., Zaim Y., Rizal, Y., Aswan., Triyono, R., Setiyono, U., Hartanto, D. 2013. Characteristics of Paleotsunami Sediments, A Case Study in Cilacap and Pangandaran Coastal Areas, Jawa, Indonesia. Indonesia Journal of Geology. Vol 8. No 4. 163 – 175.


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.