Ketahanan pangan menjadi isu yang sensitif di era sekarang ini. Hal ini karena menurut data Global Hunger Index (GHI) tahun 2016, sekitar 19 juta penduduk di indonesia masih mengalami kelaparan. Sehingga isu tersebut menjadi prioritas pemerintah dalam mengentaskannya melalui program SDGs poin kedua (No Hungry). Oleh karena itu, saat ini pemerintah terus berupaya melakukan suatu inovasi agar pemenuhan kebutuhan pangan di Indonesia tercukupi. Yaitu dengan melakukan peningkatan produktivitas pertanian, khususnya pertanian bahan pokok seperti padi. Meskipun begitu, banyak tantangan dalam proses pelaksanaannya, dalam hal ini perubahan iklim menjadi salah satu tantangan yang tidak bisa dihindarkan.

Adanya perubahan iklm menuntut sektor pertanian untuk terus melakukan adaptasi. Adaptasi paling umum yang dilakukan petani yaitu mengganti varietas yang tahan akan perubahan iklim. Hal ini karena adaptasi yang dilakukan relatif lebih mudah (Sugihardjo, 2016). Maka dari itu, untuk menunjang produktivitas sektor pertanian khususnya padi, adaptasi yang dapat dilakukan yaitu berganti menjadi padi ratun. Padi ratun menghasilkan produktivitas 40-50 persen lebih rendah dari tanaman induknya setelah masa tumbuh yang kedua dan seterusnya, namun budidaya ratun sangat sesuai untuk daerah yang kekurangan air dan/atau mengalami perubahan iklim (Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian, 2013).

Meskipun produktivitas menurun setelah masa tumbuh kedua, dengan teknologi budidaya yang lebih baik, produktivitas padi dapat ditingkatkan. Sehingga juga dapat menambah pendapatan petani. Bahkan teknologi budidaya ratun ini sudah dikembangkan di provinsi Jawa Timur, dimana produktivitas dapat ditingkatkan menjadi dua kali lipat tanpa melakukan penanaman ulang (Voa Indonesia, 2019). Selain meningkatkan produksi pertanian, keuntungan lain dari sistem ratun ini yaitu hemat dalam pemenuhan faktor produksi, hemat biaya dan tenaga kerja, serta mengurangi waktu persiapan lahan.

Penanaman padi ratun ini terlihat sangat menjanjikan. Akan tetapi proses adopsi padi jenis tersebut kurang terkenal dikalangan petani dan peminatnya juga cukup rendah. Hal ini bisa dikarenakan beberapa faktor diantaranya: 1) Faktor persepsi, sikap, dan niat dari petani, 2) informasi, pengetahuan, dan perilaku petani dalam memperoleh informasi yang rendah, 3) fungsi kelembagaan dalam penyuluhan padi ratun yang terbilang cukup buruk. Tiga hal tersebut yang mungkin mendasari kurang berkembangnya padi ratun di Indonesia. Sebenarnya faktor pertama dan kedua ini dapat ditanggulangi dengan meningkatkan minat para pemuda milenial untuk mau terjun kembali sebagai petani muda. Hal ini karena untuk meninggalkan sifat “katrok” dalam lingkungan petani. Setelah itu, tinggal pemerintah untuk terus mendukung baik dari segi modal maupun penyuluhan informasi mengenai budidaya padi ratun tersebut. Untuk itu diperlukan sinergitas antar masyarakat (petani) dan pemerintah dalam memajukan budidaya padi ratun di Indonesia.

Referensi:

https://www.voaindonesia.com/a/gubernur-khofifah-sebut-padi-ratun-teknologi-r5-solusi-atasi-kebutuhan-pangan-nasional/4963479.html (diakses pada 23 Agustus 2019)

Direktorat Jendral Prasarana dan Sarana Pertanian. 2013. Optimalisasi Lahan Melalui Teknologi Salibu, satu kali tanam 3 kali panen 1 tahun. Dirjen Prasarana dan Sarana. Kementerian Pertanian.

Sugihardjo. 2016. Model Adaptasi Ekologi Petani Sebagai Strategi Pengelolaan Usahatani Akibat Perubahan Iklim (Kasus Di Daerah Aliran Sungai Cemoro, Jawa Tengah, Indonesia). Disertasi. Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.


1 Comment

wendis · October 15, 2019 at 1:40 am

bagus sekali banget dunk

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.